EMPO.CO, Jakarta
- Perbedaan tidak berarti perselisihan. Perbedaan dapat menjadi rahmat
karena ia merupakan sumber kekayaan intelektual serta jalan keluar bagi
kesulitan yang dihadapi.
Tidaklah menjadi masalah besar
perbedaan antarkelompok umat yang meyakini prinsip-prinsip pokok akidah
dan syariah. Pasalnya, persoalan memang sebuah keniscayaan yang
dibenarkan, bahkan terkadang dipicu oleh teks Al-Quran dan hadis.
Perbedaan tadi baru berbahaya jika disertai fanatisme buta.
Hingga detik ini, sudah sering dilakukan pendekatan antara kelompok
Sunni dan Syiah. Sekali waktu atas inisiatif Sunni, di kali lain Syiah,
kemudian untuk ketiga kalinya atas prakarsa bersama. Tempat
'perundingannya' berbeda-beda dan tokoh pembicaranya silih berganti.
Mengutip buku “Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?”
yang ditulis M. Quraish Shihab, cetakan kedua, April 2007,
mengungkapkan, pada tanggal 28 Ramadan 1427 H atau 20 Oktober 2006 M
telah dilakukan pertemuan antara ulama-ulama Irak yang bermazhab Sunnah
dan Syiah di Mekah.
Pada pertemuan yang dipayungi Organisasi
Konferensi Islam (OKI) itu, mereka membahas perpecahan yang
mengakibatkan kafir-mengkafirkan antar-sesama muslim, bahkan pertumpahan
darah yang mengatasnamakan Sunnah dan Syiah. Pertemuan tersebut
mencetuskan piagam bersama yang terdiri dari sepuluh butir.
Sayangnya, hanya tiga butir saja yang diulas, yakni:
1. Seorang muslim adalah siapa yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya.
Kedua mazhab ini dinilai hanya berbeda dari sisi sudut pandang dan
penafsiran, namun kedanya memiliki kesamaan soal prinsip-prinsip dasar
keimanan. Seperti sabda Rasulullah SAW, “Siapa yang berkata kepada
saudaranya, 'wahai si kafir', maka salah seorang di antaranya adalah
kafir.”
2. Darah dan harta benda kaum muslim serta kehormatan mereka haram diganggu.
Rasulullah bersabda, “Setiap Muslim atas Muslim yang lain haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya.”
Karena itu, tidak dibenarkan menganggu seorang Muslim, Syiah atau
Sunni, dengan membunuh, menyakiti, meneror, atau melakukan agresi
terhadap hartanya, atau mendorong orang lain melakukan tindakan
tersebut. Siapa yang melakukannya, maka dia telah lepas dari
perlindungan kaum Muslim seluruhnya, tokoh-tokoh rujukannya,
ulama-ulamanya, dan keseluruhan kaum Muslim.
3. Tempat-tempat peribadatan memiliki kesucian.
Termasuk masjid, Al-Husainiyat, atau tempat yang dihormati kelompok Syiah, serta tempat peribadatan nonmuslim.
Tempat tersebut harus tetap berada dalam wewenang pemiliknya serta
dikembalikan kepada mereka, apa yang pernah dirampas darinya. Ini semua
berdasarkan kaidah hukum Islam yang menegaskan: “waqaf sesuai dengan apa
yang disyaratkan pemberinya”, “syarat pemberi waqaf serupa dengan teks
keagamaan”, dan “apa yang dikenal sebagai tradisi serupa dengan apa yang
disyaratkan.”
RINI KUSTIANI
No comments:
Post a Comment