Best Patner

Wednesday 28 May 2014

Pemilu Yang Demokratis



Hakikat Pemilu

Pemilihan Umum (Pemilu) adalah proses pemilihan orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan tersebut beraneka-ragam, mulai dari presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa. Pada konteks yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti proses mengisi jabatan-jabatan seperti ketua OSIS atau ketua kelas, walaupun untuk ini kata 'pemilihan' lebih sering digunakan.

Pemilu merupakan salah satu usaha untuk memengaruhi rakyat secara persuasif (tidak memaksa) dengan melakukan kegiatan retorika, public relations, komunikasi massa, lobby dan lain-lain kegiatan. Meskipun agitasi dan propaganda di Negara demokrasi sangat dikecam, namun dalam kampanye pemilihan umum, teknik agitasi dan teknik propaganda banyak juga dipakai oleh para kandidat atau politikus selalu komunikator politik.

Dalam Pemilu, para pemilih dalam Pemilu juga disebut konstituen, dan kepada merekalah para peserta pemilu menawarkan janji-janji dan program-programnya pada masa kampanye. Kampanye dilakukan selama waktu yang telah ditentukan, menjelang hari pemungutan suara.

Setelah pemungutan suara dilakukan, proses penghitungan dimulai. Pemenang Pemilu ditentukan oleh aturan main atau sistem penentuan pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan disosialisasikan ke para pemilih.

Dan ini yang akan menetukan siapa yang akan menjabat dan duduk di kursi pemerintahan, baik di legislatif, eksekutif atau yudikatif.


Pemilu Sesuai Syariat

Islam adalah agama yang sempurna, bukan saja masalah tauhid, ibadah, dan tasawuf yang termaktub dalam Islam, namun juga masalah politik di atur didalamnya, sehingga para politikus mampu memahami dan menjalankan politik sesuai harapan.

Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali (Wali jamaknya auliyaa: berarti teman yang akrab, juga berarti pemimpin, pelindung atau penolong) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat / politik) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Allah kembali (mu)". (QS. Ali 'Imran, No. Surat: 3, Ayat: 28).

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali (Wali jamaknya auliyaa: berarti teman yang akrab, juga berarti pemimpin, pelindung atau penolong) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah kamu hendak mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)” (QS. An-Nisaa', No. Surat: 4, Ayat: 144).

Pemilu hanyalah cara (uslub), bukan metode (thariqah). Cara mempunyai sifat tidak permanen dan bisa berubah-ubah, sedangkan metode bersifat tetap dan tidak berubah-ubah (An-Nabhani, 1973). Lebih detilnya, cara merupakan perbuatan cabang (al-fiil al-furu’) yang tidak mempunyai hukum khusus, yang digunakan untuk menerapkan hukum umum bagi perbuatan pokok (al-fiill al-ashli).

Demikian pula dalam masalah pemilihan dan pengangkatan khalifah dalam syariat Islam. Ada metode (thariqah) yang tetap dan hukumnya wajib; ada pula cara (uslub) yang bisa berubah dan hukumnya mubah. Dalam hal ini, hanya ada satu metode untuk mengangkat seseorang menjadi khalifah, yaitu baiat yang hukumnya adalah wajib (Abdullah, 1996: 130-131). Dalil wajibnya baiat adalah sabda Rasulullah saw.: “Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat, maka dia mati seperti mati Jahiliah”. (Hadis sahih. Lihat: Shahih Muslim, II/240; Majmu Az-Zawaid, V/223-224; Nayl al-Awthir,VII/183; Fath al-Bari, XVI/240).

Rasulullah saw. mencela dengan keras orang yang tidak punya baiat, dengan sebutan “mati Jahiliah”. Artinya, ini merupakan indikasi (qarinah), bahwa baiat itu adalah wajib hukumnya (Abdullah, 1996: 131).
Adapun tatacara pelaksanaan baiat (kayfiyah ada al-baiah), sebelum dilakukannya akad baiat, merupakan uslub yang bisa berbeda-beda dan berubah-ubah (An-Nabhani, 1973: 92).

Dari sinilah, Pemilu (intikhabat) boleh dilakukan untuk memilih khalifah. Sebab, Pemilu adalah salah satu cara di antara sekian cara yang ada untuk melaksanakan baiat, yaitu memilih khalifah yang akan dibaiat.

Namun, dalam pencalonan calon legislatif inilah yang perlu diseleksi oleh setiap orang atau partai terkait, jangan siapa saja dicalonkan caleg yang tidak mengetahui ilmu agama yang kuat, ta’at, zuhud, qana’ah, tawaru’, dan selalu taqarrub kepada Allah Swt, dan menganggap kursi jabatan yang diperebutkan adalah amanah yang harus dipertanggung jawabkan kepada manusia dan mahkamah Allah Swt.


Realita Menjelang Pemilu di Aceh

Sungguh sangat jauh berbeda apa yang terjadi di Aceh menjelang pemilu April mendatang, dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat dan ini sungguh kadang sangat jauh dengan nilai-nilai agama.

Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh mengeluarkan Fatwa No. 3 Tahun 2014 yang mengharamkan pengrusakan atau menghilangkan atribut partai dan peserta pemilihan umum yang telah mengikuti aturan.

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Teungku Faisal Ali menyatakan, fatwa itu dikeluarkan pihaknya agar warga punya pegangan hukum agama khususnya menjelang pemilu. "Merusak atribut partai yang sah itu hukumnya haram," kata Teungku Faisal Ali kepada wartawan di Banda Aceh, Aceh, Jumat (14/3/2014). - See more at: http://indonesia-baru.liputan6.com/read/2023131/fatwa-ulama-aceh-haramkan-intimidasi-pada-pemilu#sthash.IrbagSz4.dpuf

Dengan begitu banyaknya kejadian menjelang pemilu, maka semakin jelas bahwa politik di Aceh sudah sangat sulit untuk di kontrol, bahkan lahirlah Otk-Otk yang tak bertuan yang setiap saat memangsa atribut partai lain.

Bila Pemerintah Aceh dan pihak terkait tidak berlaku adil kepada setiap partai yang akan bersaing April mendatang, maka sangat ditakutkan di Aceh akan suburnya premanisme, yang akan membuat keganasan semakin menjadi, mungkin akan terjadi lagi korban jiwa. Pemerintah harus mengingatnya bahwa pemilu itu pesta rakyat bukan pembunuhan rakyat.

No comments:

Post a Comment