Best Patner

Tuesday 4 November 2014

Aceh, Ada Apa Dengan Mu



Aceh adalah suatu provinsi yang terletak di ujung barat pulau Sumatera, dan posisi Aceh pun sangat strategis, yaitu berbatas dengan selat Malaka, yang dulunya menjadi pusat perdagangan Internasional.

Menurut sejarah, Aceh adalah suatu kerajaan yang berdaulat, dengan nama kerajaan Aceh Darussalam, saat kejayaannya dibawah kepemimpinan raja Iskandar Muda, dan Aceh juga suatu kerajaan yang menerapkan syariat Islam, sehingga adat dan agama dipegang oleh orang-orang yang memahami bidangnya, yaitu dengan semboyan “Adat bak Poe Meuruhom, hukom bak Syiah Kuala”.

Selain letak Aceh yang strategis, Aceh juga mempunyai kekayaan alam yang luar  biasa, hutan yang begitu luasnya, minyak, gas, emas, pertanian, kelautan, dan sumber daya alam lain yang belum bisa dikelola, bahkan tanahnya pun sangat sumbur, andaikata tongkat bisa tumbuh, maka tongkat yang dipancang ditanahpun bisa tumbuh, begitu diibaratkan kesuburan tanah Aceh. Tidak sampai disitu saja, Aceh juga salah satu provinsi yang mendapat gelar otonomi khusus.

Dari berbagai pemasukan Aceh yang luar biasa, APBN, dana otsus, bansos, dain lainnya, boleh dikatakan Aceh adalah lumbung uang, seandainya diibaratkan, jangankan pekerja yang bekerja, pengangguran pun bisa mendapatkan gaji.

Kenapa Kemiskinan Begitu Sakral Di Aceh

Melihat fenomena dan kenyataan pendapatan Aceh yang begitu besarnya dibandingkan dengan jumlah penduduk yang hanya lima juta jiwa, maka ini sungguh fenomena yang sangat miris, bekas kerajaan yang sangat berdaulat dan rakyatnya dulu sangat sejahtera, kini seolah tiada terurus, sifat sosial yang dulunya begitu tinggi, kini seakan nafsi ya nafsi. Yang kaya semakin kaya, yang miskin makin melarat.

Bukan itu saja, namun kehidupan pasar pun seolahnya begitu liar, tiada ada yang mengontrolnya, harga sembako seenaknya dan harga beli hasil panen masyarakat begitu rendahnya, namun ini pun sangat miris saat menjelang meugang, harga daging di Aceh yang bervariasi dan mendapat rangking kedua termahal di Indonesia setelah Papua, yaitu 160.000 per kilogram, padahal kualitas daging di Aceh pun bukan yang terbaik.

Situasi tersebut, mendorong beberapa pedagang melaksanakan penyembelihan ternak kerbau yang tadinya ditunda. Harga daging yang dilepas melonjak menjadi Rp 160.000 per kilogram. Tingkat harga tersebut lebih tinggi dari harga daging hari meugang Idul Fitri 1434 Hijriah lalu Rp 150.000 per kilogram”, (Serambi Indonesia, 03 Oktober 2014).

“Bukan saja daging kerbau dan sapi yang melambung, daging ayam potong dijual rata-rata Rp 65.000/ ekor ukuran sedang, ayam kampung berkisar antara Rp 70.000 sampai 110.000 per ekor. Ikan basah jenis tongkol dijual antara Rp 30.000 sampai Rp 60.000 per ekor”, (Serambi Indonesia, 03 Oktober 2014).

Dengan kondisi pasar yang seperti ini, maka sungguh tidak menguntungkan masyarakat yang mempunyai anak banyak yang berpenghasilan ekonominya menengah kebawah. Karena mereka tidak mampu mencukupi kebutuhan meugang untuk keluarganya.

Dari realita yang kita lihat, maka kita kadang berpikir kalau kemiskinan itu menjadi warisan yang perlu kita jaga dan pelihara, sehingga terlihat kemiskinan itu seakan begitu sakralnya yang tak mudah bahkan tak mungkin kita lepaskan dalam kultur kehidupan masyarakat Aceh modern.

Bagaimanakah Nasib Rakyat Aceh Kedepan

Dari APBA yang 12 triliun pertahunnya, dana otsus 3,5 sampai dengan 9 triliun pertahunnya, dan bansos yang lumayan besarnya, namun masih saja ada masyarakat Aceh yang berada dibawah garis kemiskinan.

Dana otsus yang cuma dalam jangka waktu 20 tahun, yaitu dari tahun 2008 sampai dengan 2027,  dan ini pun dalam dua fase yang berbeda dengan jumlah bonusnya.

“Dana otsus dipilih dua fase; fase pertama tahun 2008-2022 (15 tahun) sebesar 2 persen dari Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional. Fase kedua tahun 2023-2227 berkurang menjadi 1 persen dari DAU Nasional. Pengurangan penerimaan Aceh pada 5 tahun terakhir diasumsikan bahwa pada saat itu kondisi pembangunan Aceh sudah mulai membaik, dan sudah mampu mengejar daerah-daerah lain di Indonesia”, (Jamaluddin M. Jamil, Serambi Indonesia).

Dengan begitu besarnya kuncurana uang ke Aceh saat ini namun masih ada juga rakyat Aceh yang melarat dan dibawah garis kemiskinan, bahkan pengangguran saat ini di Aceh mencapai 147 ribu orang atau sekitar 6,75 persen.

“Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Aceh pada Februari 2014 mencapai 6,75 persen, lebih rendah 3,37 persen dari TPT bulan Agustus 2013 yang mencapai 10,12 persen, dan lebih rendah 1,47 persen dibandingkan TPT bulan Februari 2013 lalu yang mencapai sebesar 8,22 persen”. “Menurut analisis BPS, hal itu sangat dipengaruhi pengaruh musim, dimana pada bulan Februari aktivitas sektor pertanian jauh lebih besar dibandingkan pada bulan Agustus di setiap tahunnya”. “Pada periode Februari 2013 sampai dengan Februari 2014 peningkatan jumlah angkatan kerja
dan jumlah penduduk yang bekerja juga diimbangi dengan penurunan jumlah penduduk yang
menganggur. Berdasarkan tiga periode waktu tersebut, pengangguran pada Februari 2014 merupakan pengangguran terendah dengan jumlah penduduk menganggur sebesar 147 ribu orang dan TPT sebesar 6,75 persen”
, (Nazar, Ajnn. Net, 06 Mai 2014).

“Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, jumlah pengangguran penduduk di Provinsi Aceh pada posisi Februari 2014  sebanyak 147.000 orang. Angka ini mengalami penurunan sekitar 60.000 orang jika dibandingkan dengan Agustus 2013 yaitu 207.000 orang, dan lebih kecil sekitar 30.000 orang dibandingkan  Februari 2013 yang mencapai 177.000 orang”, (Analisa, 06 Mei 2014).

Dengan membandingkan angka kemiskinan dan angka pengangguran di Aceh saat ini yang notabone Aceh merupakan lumbung uang, jadi menjadi pertanyaan besar tentang bagaimanakah nasib rakyat Aceh kedepan setelah dana otsus berakhir? Dan ini menjadi pertanyaan kita bersama dan perlu kita jawab berasama, sehingga seluruh rakyat Aceh mampu memaknai perdamaian ini sebagai rahmat sepenuhnya.

Oleh: Joel Buloh

No comments:

Post a Comment