Best Patner

Tuesday 4 November 2014

Rakyat: Suaraku Dirampas



     Rapat Paripurna DPR RI untuk menentukan hasil voting penentuan mekanisme Pilkada Langsung telah dimenangkan kubu Koalisi Merah Putih (KMP), Koalisi Merah Putih  sukses merivisi sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) dari langsung melibatkan rakyat, satu pemilih satu suara, menjadi dikembalikan ke DPRD.

     Kemenangan Koalisi Merah Putih memberikan suatu kebanggaan kepada mantan calon presiden Prabowo Subianto, ungkapan kebanggaan ini disampaikan oleh Prabowo saat berpidato dalam pembekalan calon anggota legislatif terpilih yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih di Hotel Sultan, Jakarta, Jumat (26/09/14). (Serambi Indonesia, 27 September 2014).

     “Saya cukup salut, beri penghormatan tinggi dan bangga atas pelaku Koalisi Merah Putih di parlemen yang gigih, yang memperlihatkan koalisi riil, nyata, solid”, (Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra).

UU DPRD vs Suara Rakyat

     Dengan disahkannya UU tentang Pemilu Kepala Daerah yang dibawah kekuasaan DPRD, ini jelas telah merenggut dan merampas hak suara rakyat untuk memilih kepada daerah mereka, dan ini membuktikan bahwa sistem demokrasi di Indonesia akan punah, dan ini akan menjadi malapetaka besar dalam keperintahan Indonesia, karena dilihat dari proses dan sistem demokrasi di Indonesia sudah mulai membaik, apalagi ada beberapa daerah yang telah mengadopsi sistem demokrasi yang sesuai dengan Syariat Islam.

     "Pengesahan RUU Pilkada menandakan telah berbunyinya lonceng kematian demokrasi. Karena cita-cita reformasi dikhianati sebagian elite politik yang dilahirkan pada era reformasi," kata Ketua Komisi Politik PB HMI-MPO Arfianto Purbolaksono, Sabtu (27/9), (Republika, 27 September 2014)

     Disamping itu, UU tersebut menghilangkan hak rakyat untuk memilih langsung pemimpin daerahnya yang selama ini telah kita punya. Disaat animo masyarakat untuk ikut proses pemilihan umum semakin membaik, sebagian anggota DPR yang notabene adalah wakil rakyat malah mencabut hak rakyat memilih langsung kepala daerahnya.  pilihan kepala daerah melalui DPRD belum merepresentasikan pilihan rakyat, karena konstituen mereka belum tentu memiliki pilihan sama bila dalam pemilihan kepala daerah.

     Anto menjelaskan, pemilihan melalui DPRD akan memiliki beberapa dampak, pertama, penghilangan partisipasi masyarakat dalam menentukan pemimpinnya, kedua, menguatnya oligarki dalam sistem politik nasional. Ini karena pemimpin daerah hanya akan ditentukan oleh segelintir orang, ketiga, akan melanggengkan korupsi yang telah terjadi secara sistemik," ujarnya. (Republika).

     Memang tidak semua provinsi di Indonesia yang akan memilih kepala daerah mereka melalui DPRD, namun ada empat provinsi yang masih memilih secara langsung, yaitu Aceh, DKI, Jogja, dan Papua. Dan ini sebagai lampu hijau bagi mereka, namun ini juga bisa menjadi lampu merah bagi yang provinsinya memilih kepala daerah melalui DPRD, bahkan salah-salah ini menjadi konflik baru bagi mereka, karena kecemburuan sosial.

     Forum Rektor Indonesia menilai pengesahan undang-undang tentang pemilihan kepala daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah memiliki makna berbeda. Bagi pendukung pilkada oleh DPRD, alasannya untuk efisiensi dan mencegah praktek politik uang.

     Tapi bagi pihak yang mendukung pilkada langsung, pemilihan pilkada oleh DPRD adalah kemunduran demokrasi," kata Ketua Forum Rektor Indonesia Ravik Karsidi di Surakarta, Jumat, 26 September 2014, (Tempo, 26 September 2014).

     Pemilihan kepala daerah yang melibatkan wakil rakyat sebagai penentu siapakah yang layak dan cocok menjadi kepala disuatu daerah dianggap tidak merakyat oleh sebagian masyarakat, karena banyak wakil rakyat yang tidak merakyat, bahkan setelah terpilih sebagai wakil rakyat diparlemen, mereka lebih dominan tidak mengenali rakyat lagi, dan ini bisa mengakibatkan kepala daerah yang mereka pilih adalah sesuai kepentingan mereka dan kepentingan kelompok partai yang mereka tunggangi.

     "Kepentingan yang dilatarbelakangi kepentingan politik kelompok mengakibatkan situasi politik akan menjadi tidak sehat. Kami menekankan agar dilakukan rekonsiliasi antarelite dari kedua kubu”,(HMI-MPO, Republika, 27 September 2014).

     Namun hal yang demikian tidak semata semua kalangan setuju, bahkan mereka yang mengusulkan dan memenangkan pilkada melalui DPRD menganggap ini yang terbaik, sehingga pemborosan anggaran dan konflik horizontal dapat tercegah

     "Secara sosiologis kami memandang kalau pilkada langsung berpotensi menimbulkan konflik horisontal sehingga merusak tatanan sosial dan moral bangsa. Sehingga format ideal bagi kami adalah pilkada DPRD atau tidak langsung," papar Idrus, (Detik.com, 27 September 2014).

     Bahkan, Koordinator KMP Idrus Marham dengan bangga menjelaskan alur pikir yang menjadi landasan pilihan mereka. Dia mengatakan bahwa masa transisi harus diakhiri.

     "Jadi menurut kami transisi harus diakhiri. Dengan apa? Dengan penataan sistem politik, yaitu mengembalikan Pilkada lewat DPRD seperti dulu lagi," ucap Idrus saat berbincang di Kantor DPP Golkar, Jl Anggrek Neli Murni, Jakarta Barat, Jumat (26/9/2014) malam, (Detik.com, 27 September 2014).

     Presiden Indonesia Susilo Bambang yudhoyono, memahami berbeda dengan penafsiran Koalisi Merah Putih tentang fungsi dan tugas DPRD, menurut Susilo Bambang Yudhoyono DPRD merupakan mandataris rakyat dan rakyat tidak memberi mandat untuk memilih kepala daerah.

     "Dan dalam undang-undang yang mengatur peran, tugas, fungsi dan wewenang, apakah undang tahun 2004, dan saya pikir Undang-undang Pemda yang baru yang akan terbit tahun ini juga tidak secara eksplisit memberi kewenangan itu kepada DPRD. Dari mana power DPRD tiba-tiba memilih gubernur, bupati dan wali kota? Yang rakyat pahami memilih mereka semua secara langsung," ujar Presiden SBY dalam wawancara Suara Demokrat bertema 'Tanggapan SBY Atas Hasil Voting DPR RI Tentang RUU Pilkada' yang diunggah ke YouTube, Jumat (26/9/2014), (detik.com, 27 September 2014).

     Melihat apa yang dikatakan Susilo Bambang Yudhoyono dengan sikap dirinya dan partainya jauh berbeda saat voting suara tentang UU pilkada, SBY lebih memilih walk out ketika itu, dan ini memberi efek yang sangat besar, yaitu hilangnya demokrasi saat pilkada, dan kemenangan KMB tentang UU pilkada melalui DPRD.

     Bahkan, Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti mengatakan, dalang sebenarnya dari aksi walk out tersebut adalah SBY. Ray menyebut, seharusnya sejak awal dia bisa membatalkan UU Pilkada lewat Kemendagri yang saat itu membacakan penetapan. Tetapi, hal itu tidak juga dilakukan SBY.

SBY, kata dia, justru pergi ke luar negeri dan pada akhirnya diolok-olok oleh masyarakat Indonesia. Setelah terjadi aksi penolakan masyarakat lewat Twitter, Ray menilai SBY kemudian keluar ke publik dan menyatakan tidak pernah meminta kader Demokrat walk out dari rapat paripurna. Padahal, seorang  anggota Fraksi Partai Demokrat menyebutkan keputusan walk out atas persetujuan dari SBY.

     "Ketika anda menanyakan siapa dalangnya, kami dengan tegas menyebut dalangnya adalah anda sendiri. SBY sendiri dalangnya dengan anaknya Ibas," tegas Ray dalam jumpa pers Gerakan Dekrit Rakyat Indonesia 'Menolak UU Pilkada Pengkhianat Demokrasi' di Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (28/9/2014), (Metro Tv New.com, 28 September 2014).

Nasib Demokrasi Indonesia

     Setelah diputuskan UU Pilkada, dan pemilihan tumpuk kekuasaan disuatu daerah oleh DPRD, maka rakyat saat pilkada berlangsung tidak lagi dibutuhkan untuk memberikan suaranya, kalau dulu satu suara mereka menentukan kepemimpinan lima tahun kedepan, maka sekarang semboyan ini tidak lagi berlaku, wakil rakyatlah yang akan memilih kepala daerah.

     Tentang nasib demokrasi di Indonesia yang mulai mebaik, banyak fihak yang berasumsi, sebagian mereka mengatakan dengan pemilihan yang tidak langsung tidak akan menghilangkan nilai demokrasi itu, bahkan ini adalah nilai demokrasi yang terpimpim.

     Berbicara tentang Undang-undang Pilkada yang baru disahkan oleh DPR RI, maka kita harus kembalikan lagi kepada semangat dari demokrasi Pancasila itu sendiri. Coba kita bandingkan, yang manakah yang lebih sesuai dengan demokrasi Pancasila, pemilihan langsung oleh rakyat atau pemilihan oleh wakil rakyat. 

     “Jadi akan sangat tidak bijak kalau ada yang mengatakan bahwa ada kelompok yang merampas hak rakyat karena memilih pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Justeru menurut penilaian saya, pilkada langsung atau pilpres langsung justeru menciderai dan mengkhianati konstitusi kita yaitu UUD 1945”, (Elly Sumantri, Humas DPW PKS Sumsel, PKS Nongsa, 28 September 2014).

     Sedangkan mereka yang tidak setuju dengan pilkada ala DPRD, menganggap ini awal dari kematian demokrasi Indonesia dan kita yang telah maju telah kembali lagi kemasa orde baru, saat penguasa berkuasa, kepala daerah dibawah bayang-bayang penguasa dan rakyatlah yang tertindas.

     Pada akhirnya kita kembali ke masa Orde Baru dengan disahkannya UU Pilkada itu karena kepala daerah akan dipilih melalui parlemen, Saya ini menjadi gubernur selama dua periode merupakan produk pemilihan langsung oleh rakyat. Karena ini perintah UU maka kita harus taat asas dan taat hukum untuk mewujudkannya, Saya tidak mengatakan kita mundur. Tetapi, demokrasi yang dibangun dengan susah payah mengharuskan kita kembali ke masa Orde Baru” kata di Mamuju, Jumat (26/9), (Matahari Corp, 27 September 2014).

     Dengan demikian, baik dan tidak baiknya pilkada via DPRD, namun yang jelas rakyat tidak bisa lagi memberikan hak suaranya pada orang yang dia pilih, bahkan boleh jadi kepala daerah yang ditetapkan DPRD adalah kepala daerah pilihan mereka, bukan kepala daerah pilihan kebanyakan rakyat. Dan ini sangat bertentangan dengan harapan masyarakat, yaitu memilih pemimpin dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. 

Oleh: Joel Buloh

No comments:

Post a Comment