Ibnu Hibban [20] meriwayatkan dari Umaimah binti Ruqaiqah, dan Ishaq ibn Rahawaih
[21] dari Asma’ binti Yazid bahwa Rasulullah bersabda:
" إنـي لا أصافح النسـاء "
Maknanya: "Sesungguhnya saya
tidak berjabat tangan dengan kaum perempuan". (H.R. Ibn Hibban dan
dishahihkannya. Sementara sanad Ishaq
ibn Rahawaih dinyatakan Ibn Hajar sebagai sanad yang hasan)
Sedangkan pernyataan Ummu ‘Athiyyah [22] yang mengatakan bahwa Rasulullah membaiat kaum perempuan, lalu ia
membacakan firman Allah:
) أن لا يشركن بالله شيئا ( (سورة
الممتحنة :12)
Maknanya: "Janganlah kalian
menyekutukan Allah". (Q.S. al
Mumtahanah : 12)
Juga Rasulullah membaiat mereka untuk tidak berbuat niyahah (menjerit-jerit karena kematian
seseorang seperti yang dilakukan kaum jahiliyah). Tiba-tiba salah seorang
perempuan memegang tangannya sambil berkata: “Ada seseorang [perempuan] yang
membuatku bahagia, aku ingin membalas [kebaikannya]”. Rasulullah tidak berkata
apapun, lalu perempuan tersebut pulang dan kembali lagi [dengan orang yang
hendak ia datangkan], dan kemudian Rasulullah membaiat perempuan
tersebut.
Apa yang dinyatakan Ummi ‘Athiyyah ini maknanya bukan bersentuhan antara
kulit dengan kulit. Tetapi maknanya ialah bahwa mereka; kaum perempuan dibaiat
Rasulullah dengan isyarat lewat tangan dengan tanpa ada persentuhan. Hadits ini
harus dipahami demikian hingga sejalan maknanya dengan hadits sebelumnya. Karena
dua hadits yang tsabit [yang
zhahirnya bertentangan] harus disatukan selama dimungkinkan; tidak boleh
membatalkan salah satu dari keduanya. Artinya jika memang kedua hadits tersebut
adalah hadits yang shahih.
Di antara yang menguatkan pernyataan ini adalah apa yang dinyatakan Ibn
al-Jauzi dalam tafsirnya [23]: “Dan telah shahih dalam hadits bahwa Rasulullah tidak pernah menyentuh
perempuan ketika membaiat, beliau membaiat perempuan hanya dengan ucapan”.
Kemudian, seorang ahli bahasa; Ibn al-Manzhur berkata [24]: “Baiat [kepadanya] artinya mengambil janji
darinya”.
Kemungkinan kedua, bahwa baiat tersebut terjadi dengan berjabat tangan
hanya saja dengan adanya penghalang. Sebagaimana diriwayatkan oleh al-Hafizh Ibn
Hajar dalam Fath al-Bari, berkata
[25]: “Abu Dawud dalam al-Marasil
[26] meriwayatkan dari as-Sya’bi bahwa Nabi ketika membaiat perempuan,
disodorkan kepadanya semacam kain [sebangsa burdah dari Qatar], kemudian nabi
meletakkan kain tersebut di atas tangannya, seraya berkata: “Sesungguhnya saya
tidak berjabat tangan dengan kaum perempuan”. Riwayat semacam ini diriwayatkan
pula oleh ‘Abd ar-Razzaq dari Ibrahim an-Nakha’i secara mursal [27]. Juga diriwayatkan oleh Sa’id ibn Manshur dari jalan Qais ibn Abi
Hazim.
Ibn Ishaq dalam al-Maghazi
meriwayatkan dari Musa ibn Bukair dari Qais bin Abi Hazim dari Abban ibn Shalih,
bahwa Rasulullah (ketika membaiat) memasukan tangannya ke dalam satu bejana
berisikan air, lalu perempuan memasukkan tangannya pada air yang sama. Saat itu
kemungkinan ada banyak perempuan. Inilah apa yang ditulis oleh al-Hafizh Ibn
Hajar; artinya dalam satu kesempatan Rasulullah membaiat kaum perempuan dengan
berjabat tangan dengan adanya penghalang, dan dalam kesempatan lain membaiat
dengan mencelupkan tangan dalam air, kemudian kaum perempuan tersebut
mencelupkan tangannya masing-masing pada saat yang sama.
Dalam kitab Tarikh Dimasyq
(sejarah Damaskus), riwayat tentang sepuluh orang perempuan Quraisy yang
masuk Islam bahwa mereka datang menghadap Rasulullah saat berada di al-Abthah
untuk dibaiat, al-Hafizh Ibn ‘Asakir berkata [28]: “Hindun, salah seorang dari mereka berkata: Wahai Rasulullah apakah
kami memegang tanganmu ?. Rasulullah bersabda:
" إني لا أصافح النساء إني لا أصافح النساء إ ن
قولي لمئة امرأة مثل قولي لامرأة واحدة "
Maknanya: "Sesungguhnya saya
tidak berjabatan tangan dengan kaum perempuan, dan sesungguhnya ucapanku bagi
seratus orang perempuan sama terhadap satu orang".
Disebutkan pula bahwa Rasulullah meletakkan kain di atas tangannya dan
kemudian kaum perempuan tersebut menyentuhnya. Juga disebutkan bahwa Rasulullah
didatangkan kepadanya suatu bejana air, lalu beliau memasukkan tangannya kedalam
bejana tersebut, dan kaum perempuan tersebut melakukan hal serupa.
Dalam riwayat ath-Thabarani [29] diriwayatkan bahwa Rasulullah memerintah ‘Umar untuk membaiat kaum
perempuan. Dalam riwayat inipun pengertiannya dengan tanpa bersentuhan kulit,
sebagaimana diterangkan oleh ath-Thabarani sendiri. Kemudian, sebagaimana
diriwayatkan oleh Abu Dawud, diriwayatkan pula oleh Yahya ibn Salam dalam
tafsirnya dari as-Sya’bi bahwa kaum perempuan mengambil baiat dari Rasulullah
dengan memegang tangannya yang tertutup kain.
Dalam kitab Tharh at-Tastrib disebutkan [30]: “Pernyataannya [‘Aisyah]: " Rasulullah membaiat kaum perempuan dengan
ucapan", artinya dengan tanpa berjabat tangan. Pernyataannya ini sekaligus
menunjukkan bahwa baiat bagi kaum laki-laki dengan ucapan dan berjabat tangan.
Sebagian ahli tafsir menyebutkan bahwa saat hendak membaiat kaum perempuan,
Rasulullah menyuruh untuk didatangkan suatu bejana air, kemudian ia memasukkan
tangannya ke dalam air bejana tersebut, lalu kaum perempuan memasukkan tangannya
masing-masing kedalam air yang sama. Satu pendapat mengatakan bahwa Rasulullah
berjabat tangan dengan mereka memakai kain penghalang pada tangannya. Pendapat
lain menyebutkan bahwa ‘Umar berjabat tangan dengan mereka [tanpa kain
penghalang] atas nama Rasulullah. Yang terakhir ini jelas sesuatu yang tidak
benar, bagaimana mungkin sahabat ‘Umar melakukan sesuatu yang tidak dilakukan
Rasulullah”.
Dalam kitab yang sama disebutkan [31]: “Dan para ahli fiqh dari kalangan sahabat kami (pengikut madzhab
Syafi'i) dan lainnya telah berkata bahwa menyentuh perempuan asing hukumnya
haram, sekalipun pada bagian yang bukan auratnya, seperti
wajah”.
Dengan demikian jelas kesalahan pemahaman Hizbuttahrir terhadap hadits
shahih yang diriwayatkan al-Bukhari, tentang pernyataan ‘Aisyah: [Demi Allah,
tangan Rasulullah tidak pernah menyentuh tangan seorang perempuanpun saat
membaiat]. Di mana Hizbuttahrir menyatakan bahwa pernyataan ‘Aisyah tersebut
hanya sebatas pengetahuannya saja, tidak pada semua
keadaan.
Adapun lafazh hadits al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya [yang dipahami
salah/diselewengkan Hizbuttahrir] adalah sebagai berikut [32]: “Mengkhabarkan kepada kami Ishaq [ia berkata]: Mengkhabarkan kepada
kami Ya’qub ibn Ibrahim ibn Sa’ad [ia berkata]: Mengkhabarkan kepada kami Ibn
Akhi Ibn Syihab dari pamannya [ia berkata]: Mengkhabarkan kepada kami ‘Urwah
bahwa ‘Aisyah; isteri Rasulullah, mengkhabarkan kepadanya bahwa Rasulullah
menguji kaum perempuan yang hijrah kepadanya dengan firman Allah [yang berisikan
tentang baiat]:
) يا أيها النبي إذا جاءك المؤمنات يبايعنك على أن
لا يشركن بالله شيئا ولا يسرقن ولا يزنيـن ولا يقتلن أولادهن ولا يأتيـن ببهتان
يفترينه بين أيديهن وأرجلهن ولا يعصينك في معروف فبايعهن واستغفر لهن الله إن الله
غفور رحيم ( (سورة
الممتحنة :12)
Maknanya: "Wahai Nabi apabila
datang kepadamu kaum mukmin perempuan untuk berbaiat kepadamu untuk tidak
menyekutukan Allah dengan suatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak
membunuh anak-anak mereka, tidak mendatangkan kedustaan dari kebohongan [apa
yang diperbuat] antara tangan dan kaki-kaki mereka, tidak maksiat kepadamu dalam
kebaikan, maka baiatlah mereka dan mintakanlah ampun kepada Allah bagi mereka,
sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang". (Q.S. al Mumtahanah :
12)
‘Urwah berkata: ‘Aisyah berkata: “Siapapun di antara perempuan yang
setuju dengan syarat tersebut, Rasulullah berkata kepadanya: Aku telah
membaiatmu dengan ucapan. Dan demi Allah tangan beliau tidak pernah menyentuh
tangan perempuan manapun saat membaiat. Beliau tidak membaiat perempuan kecuali
dengan berkata: “Aku telah membaiatmu akan hal itu”.
Dalam riwayat Ibn Hibban perkataan ‘Aisyah sebagai berikut [33]: “Rasulullah tidak pernah mengambil [janji] terhadap kaum perempuan
kecuali dengan apa yang diperintahkan oleh Allah, dan telapak tangan beliau sama
sekali tidak pernah menyentuh telapak tangan perempuan. Beliau tidak melakukan
apapun ketika membaiat kaum perempuan kecuali dengan berkata: Aku telah membaiat
kalian dengan ucapan”.
Di antara dalil lain yang menunjukkan keharaman berjabat tangan dengan
perempuan asing adalah sabda Rasulullah:
"لأنْ يُطْعَنَ أحَدِكُمْ بِمَخِيْطٍ مِنْ
حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أنْ يَمَسَّ امْرَأةً لاَ تَحِلُّ لَهُ" رَوَاهُ الطّبَرَانـي فِي المُعْجَم الكَبِيْرِ
منْ حَدِيْثِ مِعْقَلٍ بْنِ يَسَارٍ وَحَسّنَهُ الحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ وَنُورُ
الدّيْن الهَيْثَمِي وَالمُنْذِري وَغَيْرُهُمْ
Maknanya : “Bila
(kepala) salah seorang dari kalian ditusuk dengan potongan besi maka hal itu
benar-benar lebih baik baginya (artinya lebih ringan) daripada (disiksa karena
maksiat) memegang perempuan yang tidak halal baginya". (H.R. ath-Thabarani
dalam al Mu'jam al Kabir dari hadits
Ma'qil bin Yasar dan hadits ini hasan menurut Ibnu Hajar, Nuruddin al Haytsami,
al Mundziri dan lainnya)
Makna [يمس] pada hadits di atas bukan “bersetubuh” (jima’), sebagaimana kesalahan
pemahaman semacam ini diyakini Hizbuttahrir. Tetapi makna yang benar adalah
“menyentuh”, sebagaimana pemahaman tersebut dipahami oleh perawi haditsnya
sendiri; Ma’qil ibn Yasar, sebagaimana diterangkan oleh Ibn Abi Syaibah dalam al-Mushannaf [34].
Kemudian mengartikan [يمس] dengan “bersetubuh” adalah sebuah pemahaman
dengan metode metafor (majaz).
Padahal metodologi majaz tidak dipakai kecuali dengan ketentuan dalil aqli atau
dalil naqli, dimana dalil aqli tersebut sebagai sesuatu yang qath’i dan dalil naqli-nya sebagai sesuatu yang tsabit. Pemaknaan lafazh-lafazh dengan
makna majazi secara sembarangan adalah tindakan mengacaukan ('abats) teks-teks syari’at sebagaimana
dijelaskan oleh para ulama ushul fiqh, dari kalangan ulama madzhab Syafi’i,
Hanafi dan lainnya.
Kemudian memaknai [يمس] dalam hadits di atas dengan “bersetubuh” adalah
pemahaman yang bertentangan dengan hadits shahih lainnya seperti sebuah hadits
riwayat Muslim [35] bahwa Rasulullah bersabda:
" واليد زناها البطش "
Maknanya: "Dan tangan perbuatan
zinanya adalah al-bathsy".
Pengertian al-Bathsy dalam
bahasa arab ada dua [36]; al-Bathsy bisa berarti
memegang dengan kuat, dan al-Bathsy
bisa berarti menyentuh. Makna [يمس] di atas adalah dalam pengertian kedua, maksudnya
perbuatan zina tangan adalah menyentuh dengan tangan dengan cara berjabat tangan
atau menyentuh bagian badan perempuan ajnabiyyah lainnya dengan syahwat, atau
tanpa syahwat dengan tanpa penghalang. Kalau umpama tidak ada nash lain, kecuali
satu hadits ini, maka inipun cukup untuk menjelaskan keharaman menyentuh
perempuan asing. Dan kesalahan besar jika al-Bathsy diartikan “bersetubuh”, karena
jika demikian pengertiannya tentunya Rasulullah tidak akan mengatakan lanjutan
hadits tersebut yang berbunyi:
" والفرج يصدق ذلك أو يكذبه "
Maknanya: "Dan kemaluan
[farji] membenarkan atau mendustakan
hal tersebut (dengan bersetubuh atau tidak)".
Setelah penjelasan ini tidak ada alasan yang dapat dijadikan sandaran
oleh Hizbuttahrir, kecuali bahwa mereka orang-orang keras kepala tidak mau
menerima kebenaran.
__________________________
[20]. Al-Ihsan Bi Tartib Shahih
Ibn Hibban: Kitab as-Sair: Bab Bai’at al-A’imah (7/41)
[21]. Disebutkan oleh Ibn Hajar
dalam al-Mathalib al-‘Aliyah (2/208)
[22]. Dikeluarkan al-Bukhari
dalam Shahih-nya: Kitab at-Tafsir: Surat al-Mumtahanah. Juga dalam Kitab
al-Ahkam: bab bai’at an-Nisa.
[23]. Zad al-Mashir
(8/244)
[24]. Lisan al-Arab
(8/26)
[25] Fath al-Bari
(8/236-237)
[26]. al-Marasil (h.
128)
[27]. Mushannaf ‘Abd ar-Razzaq
(6/9)
[28]. Tarikh Madinat Dimasyq:
Tarajum an-Nisa (h. 451)
[29]. al-Mu’jam al-Kabir
(25/45). Lihat pula Majma’ az-Zawaid (6/38), Musnad Ahmad (6/408-409) dan
Mushannaf Ibn Abi Syaibah (3/390).
[30]. Tharh at-Tatsrib
(7/44)
[31]. Tharh at-Tatsrib
(7/45)
[32].
Shahih al-Bukhari: Kitab at-Tafsir: Bab
tafsir firman Allah ayat 10 dari surat al-Mumtahanah.
[33]. Al-Ihsan Bi Tartib Shahih
Ibn Hibban (7/441)
[34]
. Al-Mushannaf
(4/341)
[36]. Lihat al-Misbah al-Munir
karya al-Fayyumi (h. 51)
No comments:
Post a Comment