Best Patner

Sunday 31 August 2014

HIKMAH DICIPTAKANNYA SYAITHAN



Al Quran menjelaskan, Allah SWT menciptakan alam semesta dan semua yang ada di dalamnya, satu pun tidak ada yang batil atau sia-sia.

“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka”, (Q. S. Ali Imran: 191).

Oleh karena itu Allah menciptakan iblis atau makhluk yang disebut setan Itu, bila dilihat dari sisi nilai ibadah, pada hakikatnya juga ada hikmahnya.

Imam al-Ghazali pernah menyatakan; jika ingin melihat kesalahan/kelemahan kita, carilah pada sahabat karib kita, karena sahabat kitalah yang tahu kesalahan/ kelemahan kita. Jika kita tidak mendapatkannya pada sahabat kita, carilah pada musuh kita, karena musuh kita itu paling tahu kesalahan/kelemahan kita. Sifat musuh adalah selalu mencari kelemahan lawan untuk dijatuhkan.

Demikian pula setan. la selalu mencari kesalahan/kelemahan orang-orang beriman untuk kemudian digelincirkan dengan segala macam cara.

Nah, jika kita telah mengetahui kesalahan/kelemahan kita, entah dari kawan, lawan, bahkan dari setan, lalu kita memperbaiki diri, insya Allah kita akan menjadi orang baik dan sukses. Jadi, kalau kita berpikir positif, ada juga hikmahnya setan itu buat orang-orang beriman.

Lebih rinci, di antara hikmah dicipta-kannya setan ialah :
1.      Untuk menguji keimanan dan komitmen manusia beriman terhadap perintah Allah. Karena setiap orang yang mengaku beriman kepada Allah pasti akan diuji.

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami Telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?”, (Q. S. Al-Ankabut: 2).

Jika dengan godaan setan seorang mukmin tetap istiqamah dengan keimanannya, maka derajatnya akan ditinggikan oleh Allah dan hidupnya akan bahagia. Tetapi jika ia tergoda dan mengikuti ajakan setan, derajatnya akan jatuh, hina kedudukannya dan dipersulit hidupnya oleh Allah.

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" Kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, Maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang Telah dijanjikan Allah kepadamu".
“Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta”, (Q. S Al-Fushilat: 30-31).

2.      Menguji keikhlasan manusia beriman dalam mengabdi kepada
Allah SWT menjelaskan bahwa Dia menciptakan jin dan manusia tidak lain supaya mereka mengabdi kepada-Nya.

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”, (Q. S. Adh-Dhariyat: 56).

Kemudian setan datang menggoda manusia, membangkit-bangkitkan syahwat kepada kenikmatan duniawi, rnembisikkan ke dalam hatinya angan-angan kosong dan keraguan, supaya manusia lupa terhadap tujuan dan tugas hidupnya di dunia. Jika manusia tetap sadar akan tujuan dan tugas hidupnya di dunia, dia akan tetap ridha menjadi hamba Allah dan mengabdi kepada-Nya. Terhadap hamba Allah seperti ini, setan tidak akan rnampu menggodanya (QS. 15 : 40).

“Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis[799] di antara mereka", (Q. S. Al-  Hijr: 40).

Tetapi jika manusia tergoda, pada gilirannya ia akan menjadi hamba setan.

3.      Untuk meningkatkan perjuangan di jalan Allah.
Sebab tanpa ada setan yang memusuhi kebenaran, maka tidak akan ada semangat perjuangan (jihad) untuk mempertahankan kebenaran. Sedangkan jihad di jalan Allah juga merupakan bukti penting manusia beriman dan ridha sebagai hamba Allah.

4.      Allah hendak memberi pahala yang lebih besar kepada para hamba-Nya.
Semakin besar godaan setan kepada manusia dan dia mampu menghadapinya dengan baik, maka semakin besar pahalanya di sisi Allah.

Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain[259]. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, Pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan Pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik”, (Q. S. Ali Imran: 195).

5.      Agar manusia waspada setiap saat, selalu memperbaiki kesalahan, meningkatkan kualitas ibadah dengan bertaqarrub kepada Allah.

Karena setan senantiasa mengintai kelengahan manusia. Sekejap saja manusia lengah, setan akan masuk, lalu mengacaukan hati dan syahwat. Tapi orang yang selalu waspada, akan senantiasa ingat kepada Allah sehingga setan tidak punya kesempatan untuk mengganggunya.

Jadi, bagi orang yang sudah kuat imannya, gangguan setan itu tidak akan merusak ibadahnya. tetapi malah mempertinggi kualitas iman dan ibadahnya. Masalahnya, tayangan-tayangan setan yang makin marak di televisi, tidak ditonton oleh mereka yang telah kuat imannya, melainkan oleh masyarakat dari berbagai lapisan umur dan kadar iman yang terbanyak masih memerlukan bimbingan. Bagi mereka ini, tayangan-tayangan itu sangat kontra produktif, bahkan bisa mendangkalkan iman mereka. Apakah ini tidak terpikirkan oleh insan pertelevisian kita?.


Oleh: Joel Buloh

Rakyat Aceh Menunggu “Peuneutoh (Fatwa)” Mu Wahai Ulama



Hiruk pikuk kehidupan masyarakat Aceh saat ini, seolah laksana kapal ditengah lautan yang terombang ambing dihempas ombak, sang nakhoda yang dilanda mabuk membuat kapal tiada arah, para penumpang makin kebingungan, ada yang ikut (ikutan) mabuk, ada juga yang sadar namun tidak tau cara mengendalikan sang kapal. Kebanyakan penumpang dan pemeran hanya pasrah terhadap keadaan.

Isu syariat Islam yang ditaburkan, seolah Aceh kian kokoh dengan keislaman nya, tertanam dalam benak, Aceh laksana Mekkah atau Madinah yang nyaman tentram, penduduk yang ahli syariat bertebaran dimuka bumi Aceh, tidak pernah terdengar pembunuhan, pemerkosaan, pencurian, narkoba dan lainnya, namun itu cuma sebatas ilusi dibumi bertitel syariat, namun kenyataannya hampir apa yang kita baca dikoran, kita lihat ditelevisi bahkan dengan mata sendiri sungguh lain dari ilusi. Kadang kekejaman di Aceh sudah sampai tahap kritis dan krisis identitas.

Para pelaku kekerasan seolah terorganisir, sehingga tanpa hari tiada berita yang mencuatkan hati, korupsi kadang dilakukan berjamaah, seolah shalat yang sedang diimamkan oleh sang matrealistis dan Kapitalis, praktik judi dan narkoba pun kian merajalela, bahkan hampir secara terang-terangan itu dilakukan, belum lagi remaja yang memaknai kebebasan sesuka hati dalam berpakaian dan berhubungan, seolah-olah itu suatu yang dilegalkan, sang kekasih yang dimabuk cinta disirami birahi syaithan pun bertaburan, mareka berpasangan ditempat sepi, dipojok, dimobil, bahkan tanpa merasa bersalah si wanita menyandarkan tubuhnya yang memakai pakaian ketat kepunggung sang lelaki buaya yang siap memangsanya.

Entah siapa yang bersalah, entah siapa yang bertanggung jawab terhadap kemungkaran dan kemaksiatan ini, semua seolah diam membisu. Aceh hari ini tidak menampakkan wajah Aceh yang dahulu, kala orang mengenang Aceh sebagai tanah aulia tempat lahir para syuhada yang berperang dengan rencong dan senjata apa adanya melawan penjajah Belanda yang mencoba merebut Aceh dan merusak Aceh dengan syariat Islamnya.

Konflik yang berkepanjangan, harta, anggota badan, bahkan nyawa telah banyak yang hilang dan tsunami yang melantak hampir sepertiga bumi Aceh dan ribuan nyawa melayang pun seolah hanya mitos dan sandiwara biasa, yang tidak membuat kita makin taat beragama, makin insaf atau makin menjadi manusia sebagai mana konsep manusia itu sendiri.

“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”, (Q. S Al Hujarat: 13).

“Manusia hidup didunia ini mempunyai tujuan yang jelas, yaitu tercapainya kebahagiaan, baik didunia maupun diakhirat, sedangkan tujuan akhirnya adalah tercapainya kebahagiaan akhirat yang puncaknya yaitu dekat dengan Allah dengan cara bertemu dan melihat Allah yang didalamnya terdapat kenikmatan-kenikmatan yang menyeluruh yang tidak pernah diketahui manusia ketika didunia. Karena hakikat manusia itu jiwanya, maka jiwalah yang akan mendapatkan kesenangan dan penderitaan nanti di akhirat kelak”, (Al Ghazali).

Ketika kegalauan rakyat Aceh yang dia sendiri tidak pernah tau dengan kegalaun itu, kedangkalan pemahaman agama yang membuat kita semakin jauh dari jalan tuntutan agama, tapi itu kadang juga tiada pernah menyadarinya, fatwa demi fatwa terlontar dari mulut bukan seorang mufti yang membuat kita makin buta, maka saat itulah sang pelita pembuka cahaya dan pemersatu umat yang kita tunggu, suaramu... fatwamu... dan ajakan mu wahai para ulama yang membuat kami akan dekat, sehingga kerapuhan dan kebimbangan akan sirna.


Ulama Pemersatu Umat

Ulama adalah adalah “pemuka agama atau pemimpin agama yang bertugas untuk mengayomi, membina dan membimbing umat Islam baik dalam masalah-masalah agama maupum masalah sehari hari yang diperlukan baik dari sisi keagamaan maupun sosial kemasyarakatan”, (Wikipedia).

Ketika kita sedang bimbang, hati tak menetu, perasaan cemas dan rasa tidak enak datang, maka kita membutuhkan bimbingan rohani, pembinaan yang bersifat religi, akan kita dapat memahami misteri pengganggu hati. Begitu juga saat keterpurukan mental dan moral merajalela, sang pahlawan tidak bertuan pun berkoar dimana-mana, mengagungkan diri sendiri dan lupa atas qudrah dan iradah Tuhannya, maka saat itu sang pencerah ulama mau berbicara dan berfatwa.

Kebengisan satu kelompok  kepada kelompok lain yang membuat individu simpatisan dan pengikutnya ikut murka kepada sesama makhluk demi meraih materi yang berlimpah, dalih aspirasi rakyat dan kesejahteraan menjadi kunci pencari dukungan, namun kadangkala melupakan etika dan arahan agama, demi ini rela mengorbankan itu, demi jabatan rela mengorbankan ukhuwah islamiyah, bahkan kata-kata kasar pun sering mencuat dari mulut orang yang tak bertanggung jawab, sang “OTK” kian terkenal walau tanpa sosok yang nyata namun ia telah ada.

Saat ini, masyarakat Aceh seolah krisis identitas, telah lupa siapa dirinya, telah lupa siapa saudaranya, telah lupa apa agamanya, terbuai janji manis sipembisik janji, padahal kita dikenal dulu karena bersatu dan megahnya Islam di Aceh, saat ini kita sangat labil dan latah, “peuneutoh-peunutoh” tak bertuan pun makin berkembang, sehingga putusan hukum bukan lagi pada mereka yang memahami hukum, seringkali menghalalkan dan mengharamkan sesuatu demi kepentingan pribadi, padahal Islam telah memperjelaskannya.

Ketika kita begitu rapuh terbuai, saat inilah kita membutuhkan peran Ulama pemersatu umat, “Wahai para ulama, berilah wejengan dan peunutoh kepada kami, mari bersatu dan satukan kami, kami ingin seperti dulu, saat ulama menjadi pegangan umat, saat ulama menjadi pilar negara, saat ulama secara langsung mengatur negara, satukanlah kami dalam panji Islam, nasehatilah kami yang telah salah langkah dan terbuai kemaksiatan berlimpah tahta dan harta, dan perangilah kami bila kami menjadi orang dhalim setelah dinasehati, agar generasi kita mampu memahami mana kenebaran dan mana kepentingan”.

Semoga Aceh hari ini dan kelak benar-benar Aceh yang Islami, tidak pernah mengkafirkan sesama muslim namun saling menasehati, jangan biarkan Aceh hancur dan ambruk karna moral dan pemahaman agama  yang dangkal, kami selalu menunggu peranmu wahai ulama, jangan diam lagi, karena kita telah begitu hancur, kemaksiatan merajalela, kemungkaran dan kedhaliman begitu megah, seolah-olah kita bukan penghuni Serambi Mekkah, satukan kami dalam memerangi kemungkaran, kemaksiatan dan kedhaliman karena engkau adalah pewaris para Nabi. “Ulama adalah pewaris para Nabi.” (HR At-Tirmidzi dari Abu Ad-Darda). 

Oleh: Joel Buloh

Tarbiyatul Ramadhan dan Pilpres 2014



Masyarakat muslim didunia sedang melaksanakan rukun Islam yang ke tiga, yaitu puasa pada bulan Ramadhan, dan didalam ramadhan terkandung tarbiyah (pendidikan) bagi setiap individu muslim.

Kewajiban puasa ramadhan adalah untuk melatih umat Islam dalam melawan dan menahan dari berbagai macam hawa nafsu, yang dengan nafsu tersebut manusia akan merasa rakus, tamak, serakah, mementingkan diri sendiri bahkan angkuh.

Dalam bulan Ramadhan manusia dididik untuk mampu meningkatkan ketaqwaan kepada Allah Swt dan kesadaran manusia dalam memperhambakan diri kepada sang Khaliq. Dan ini adalah tarbiyah yang terkandung dalam bulan Ramadhan, dan ini juga sangat mempengaruhi pilihan rakyat Indonesia terhadap siapa calon Presiden yang telah mereka pilih 09 Juli 2014 kemarin.


Tarbiyah Ramadhan

Dalam bulan Ramadhan banyak pendidikan yang terkandung, dan pendidikan yang paling dasar adalah bagaimana manusia itu mampu menahan rasa lapar dan dahaga, sehingga ia mampu merasakan bagaimana yang dirasakan oleh saudaranya yang  serba kekurangan dan berada dibawah garis kemiskinan.

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”, (Q. S Albaqarah: 183).

Tarbiyah yang sangat sempurna dengan melaksanakan puasa Ramadhan adalah meningkatkan ketaqwaan dan ini bukti pengabdian kita sebagai hamba yang mampu benar-benar menjadi hamba disisi Allah Swt.

Orang yang bertaqwa adalah “orang-orang yang selalu menjunjung tinggi perintah Allah Swt dan menjauhi segala larangannya, baik secara dhahiriyah maupun secara bathiniah”, (Hasan Mas’ud, Taisir Akhlak).

Kesuksesan yang akan diraih oleh seorang yang benar-benar melaksanakn puasa seperti ketentuan syariat adalah merubah prilaku dan sikap seorang dari yang biasa kepada tingkat ketaqwaan yang sempurna, sehingga ia benar-benar sadar bahwa dia itu adalah makhluk yang lemah yang mesti memperhambakan diri dengan sepenuh hati.

“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan Hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan”, (Q. S Al Fatihah: 5).

Na'budu diambil dari kata 'ibaadat: kepatuhan dan ketundukkan yang ditimbulkan oleh perasaan terhadap kebesaran Allah, sebagai Tuhan yang disembah, Karena berkeyakinan bahwa Allah mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadapnya.
Nasta'iin (minta pertolongan), terambil dari kata isti'aanah: mengharapkan bantuan untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakan dengan tenaga sendiri.

Titel taqwa yang didapatkan seseorang setelah melaksanakan ibadah puasa selama sebulan penuh, maka orang tersebut minimal akan memiliki beberapa sifat, yaitu tawadhu’ (merendahkan diri), qana’ah (merasa cukup), wara’ (terpelihara), dan yakiin (menyakini segala sesuatu dari Allah Swt).

Tawadhu’

Pengertian Tawadhu’ adalah rendah hati,  tidak sombong. Pengertian yang lebih dalam adalah kalau kita tidak melihat diri kita memiliki nilai lebih dibandingkan hamba Allah yang lainnya.  Orang yang tawadhu’  adalah orang  menyadari bahwa semua kenikmatan yang didapatnya bersumber dari Allah SWT.  Yang dengan pemahamannya tersebut maka tidak pernah terbersit sedikitpun dalam hatinya kesombongan dan merasa lebih baik dari orang lain, tidak merasa bangga dengan potensi dan prestasi yang sudah dicapainya. Ia tetap rendah diri dan selalu menjaga hati dan niat segala amal shalehnya dari segala sesuatu selain Allah. Tetap menjaga keikhlasan amal ibadahnya hanya karena Allah.

Tawadhu’ ialah bersikap tenang, sederhana dan sungguh-sungguh menjauhi perbuatan takabbur (sombong), ataupun sum’ah ingin diketahui orang lain amal kebaikan kita.
Tawadhu merupakan salah satu bagian dari akhlak mulia jadi sudah selayaknya kita sebagai umat muslim bersikap tawadhu, karena tawadhu merupakan salah satu akhlak terpuji yang wajib dimiliki oleh setiap umat islam.

“Tiada berkurang harta karena sedekah, dan Allah tiada menambah pada seseorang yang memaafkan melainkan kemuliaan. Dan tiada seseorang yang bertawadhu’ kepada Allah, melainkan dimuliakan (mendapat ‘izzah) oleh Allah”. (H. R. Muslim).

Qana’ah

Menurut bahasa qana’ah artinya merasa cukup. Menurut Istilah qana’ah berarti merasa cukup atas apa yang telah dikaruniakan Allah Swt kepada kita sehingga mampu menjauhkan diri dari sifat tamak, sifat tersebut berdasarkan pemahaman bahwa rezeki yang kita dapatkan sudah menjadi ketentuan Allah Swt. Apapun yang kita terima dari Allah Swt merupakan karunia yang tiada terhingga. Oleh karena itu, sebagai umat Islam kita wajib bersyukur kepada-Nya.

“Dan tidak ada sesuatu binatang melata pun di bumi ini, melainkan Allahlah yang memberi rezekinya” (Q. S Hud : 6).

“Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar” (Q. S Al Baqarah:155).

Wara’

Wara’menurut bahasa mengandung arti menjauhi dosa, lemah, lunak hati, dan penakut. Para sufi memberikan definisi yang beragam tentang wara’ berdasarkan pengalaman dan pemahaman masing-masing.

 “Wara’ adalah meninggalkan syubhat (sesuatu yang meragukan) dan meninggalkan sesuau yang tidak berguna”, (Ibrahim ibn Adham)

Pengertian serupa juga dikemukakan Yunus ibn Ubayd, hanya saja ia menambahkan dengan adanya muhasabah (koreksi terhadap diri sendiri setiap waktu).

Imam al-Bukhari mengutip perkataan Hasan bin Abu Sinan rahimahullah: “Tidak ada sesuatu yang lebih mudah dari pada sifat wara'”:

"Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu". Ibn al-Qayyim al-Jawziyah menarik kesimpulan bahwa “wara’ adalah membersihkan kotoran hati, sebagaimana air membersihkan kotoran dan najis pakaian”.

Yaqin

Yaqin adalah mempercayai dan meyakini bahwa segala sesuatu itu berdasarkan ketentuan Allah Swt, sehingga apapun keputusan yang telah Allah tentukan tidak ada suatu keraguan sedikitpun, dan kita sabar mensyukuri apa yang ditakdirkan setelah kita berusaha semaksimal mungkin.


Hubungan Tarbiyah Ramadhan Dengan Pilpres 2014

Dalam setiap tarbiyah Ramadhan umat Islam dibimbing untuk menentukan pilihannya, memilih sosok orang nomor satu di Indonesia bukanlah masalah yang begitu saja, karena itu menentukan perkembangan Indonesia kedepan, minimal selama lima tahun.

Dua orang kandidat calon presiden yang telah ditetapkan adalah Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kala, mereka adalah orang-orang yang terbaik setelah melewati beberapa seleksi, namun ini terlepas dari seleksi menurut Islam.

Kendatipun demikian, kita rakyat Indonesia harus benar-benar memilih seorang yang lebih pantas dari mereka berdua, karena penentuan siapakah yang akan menjadi Presiden Indonesia kelak adalah menurut pilihan kita semua rakyat Indonesia.

Pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang telah dipraktekkan Rasulullah Saw, bahkan dari sirah kepemimpinan beliau, kita bisa menentukan pilihan kita kepada pemimpin tersebut.

“Sungguh Telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin”. “Jika mereka berpaling (dari keimanan), Maka Katakanlah: "Cukuplah Allah bagiKu; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya Aku bertawakkal dan dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung", (Q. S At Taubah : 128-129).

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud, Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu Kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya Karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar”, (Q. S Al Fath: 29).

Menurut ayat di atas, maka paling tidak pemimpin itu harus memiliki beberapa kriteria, yaitu: pemimpin dari golongan sendiri, merasakan apa yang dirasakan oleh rakyat, menginginkan keimanan dan keselamatan bagi rakyat, lemah lembut terhadap mukmin, keras terhadap kafir, dan tabah dalam memimpin.

Dengan meningkatkan ketaqwaan pada diri kita, semoga pilihan kita 09 Juli yang lalu  benar-benar-benar terpilih pemimpin yang akan memimpin Indonesia ini dengan benar-benar, dan semoga presiden yang telah kita pilih bukanlah karena hawa nafsu, perintah sebagian orang untuk memilihnya, money politic, atau sesuka hati, namun presiden yang kita pilih benar-benar berdasarkan ilmu dan kajian kita didalam Islam, sehinga Indonesia kelak benar-benar melahirkan seorang Presiden yang merakyat, yang mampu mensejahterakan rakyat Indonesia dari Sabang sampai Mareuke.

Oleh: Joel Buloh