Best Patner

Sunday 10 November 2013

Mencegah Kemungkaran

عن أبي سعيد الخدري – رضي الله عنه – قال : قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول - من رأى منكم منكرا فليغيره بيده ، فإن لم يستطع فبلسانه ، فإن لم يستطع فبقلبه و ذلك أضعف الإيمان - رواه مسلم

Dari Abu Sa'id Al Khudri radhiyallahu anhu, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda : “Barang siapa di antaramu melihat kemungkaran, hendaklah ia merubahnya (mencegahnya) dengan tangannya (kekuasaannya) ; jika ia tak sanggup, maka dengan lidahnya (menasihatinya) ; dan jika tak sanggup juga, maka dengan hatinya (merasa tidak senang dan tidak setuju) , dan demikian itu adalah selemah-lemah iman”.

[Muslim no. 49] 

Malu

عن أبي مسعود عقبة بن عمرو الأنصاري البدري – رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم " إن ما أدرك الناس من كلام النبوة الأولى , إذا لم تستح فاصنع ما شئت " رواه البخاري

Dari Abu Mas'ud, ‘Uqbah bin ‘Amr Al Anshari Al Badri radhiyallahu anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah bersabda : "Sesungguhnya diantara yang didapat manusia dari kalimat kenabian yang pertama ialah : Jika engkau tidak malu, berbuatlah sekehendakmu." (HR. Bukhari)

[Bukhari no. 3483]

Halal dan Haram Itu Jelas

عن أبي عبدالله النعمان بن بشير رضي الله عنهما قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول " إن الحلال بين و الحرام بين , وبينهما مشتبهات قد لا يعلمهن كثير من الناس , فمن اتقى الشبهات فقد استبرأ لدينه وعرضه , ومن وقع في الشبهات فقد وقع في الحرام , كالراعي يرعى حول الحمى يوشك أن يرتع فيه , ألا وأن لكل ملك حمى , ألا وإن حمى الله محارمه , إلا وإن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله , وإذا فسدت فسد الجسد كله , ألا وهي القلب

Dari Abu 'Abdillah An-Nu'man bin Basyir radhiallahu 'anhuma berkata,"Aku mendengar Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya yang Halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan diantara keduanya ada perkara yang samar-samar, kebanyakan manusia tidak mengetahuinya, maka barangsiapa menjaga dirinya dari yang samar-samar itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya, dan barangsiapa terjerumus dalam wilayah samar-samar maka ia telah terjerumus kedalam wilayah yang haram, seperti penggembala yang menggembala di sekitar daerah terlarang maka hampir-hampir dia terjerumus kedalamnya. Ingatlah setiap raja memiliki larangan dan ingatlah bahwa larangan Alloh apa-apa yang diharamkan-Nya. Ingatlah bahwa dalam jasad ada sekerat daging jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati”.

Sunday 20 October 2013

MENGHIDANGKAN MAKANAN DITEMPAT KEMATIAN

Jawaban Syaikhul Islam Ibnu Hajar al-Haitami tentang menghidangkan makanan di hari kematian.

Syaikhul Islam Imam Ibnu Hajar al-Haitami (907-974 H/1504-1567 M) merupakan seorang ulama mutaakhiin Mazhab Syafii yang memiliki pengaruh yang besar dalalam mazhab Syafii. Kitab-kitab beliau menjadi rujukan utama bagi ulama-ulama Mazhab Syafii semasa beliau hingga zaman sekarang. Semua kitab-kitab fiqk Mazhab Syafii yang di karang pada masa sesudah beliau tidak terlepas dari pendapat-pendapat beliau bersama dengan Imam Ramli.

Salah satu kitab beliau yang banyak di jadikan rujukan adalah kitab Fatawa Kubra Fiqhiyyah yang terdiri dari 4 jilid berisi fatwa-fatwa beliau seputar masalah-masalah fiqih.
Salah satu yang pernah di tanyakan kepada beliau adalah hukum menyediakan makanan pada hari kematian yang pada masa beliau memang telah menjadi tradisi hingga sekarang. Bagaimanakah jawaban Syeikh Ibnu Hajar, mari kita buka kitab Fatawa Kubra Fiqhiyyah jilid 2 hal 32 Dar Fikr!!

"وسئل" نفع الله به عن العزاء الذي يفعلونه ببلاد اليمن قد يفعله أجنبي ويطلب الرجوع به على الورثة وقد يفعله وارث ويرجع به على بقية الورثة فما حكمه.؟
"فأجاب" بقوله جعل الطعام للمعزين إن حمل على معصية كنياحة حرم مطلقا وإن لم يكن فيه ذلك فإن فعله أجنبي من غير إذن الورثة جاز ولم يرجع به عليهم لأنه متبرع به وكذا إذا فعله بعض الورثة من غير إذن الباقين فلا رجوع له بشيء على بقية الورثة ويحرم على وارث أو وصي جعله من التركة إذا كان في الورثة غير مكلف أو محجور عليه بسفه وإذا أوصى الميت بفعله فإن كان على وجه حرام أو مكروه لم تنفذ وصيته وإلا نفذت من الثلث إن لم تجز الورثة الزائد عليه فيفعله الوصي حينئذ والله تعالى أعلم.

Artinya:
Ditanyakan guru kita (Imam Ibnu Hajar al-Haitami) - semoga ALLAH selalu memberikan manfaat dengan beliau- tentang masalah menyediakan makanan bagi orang ta’ziyah yang dilakukan di negeri Yaman, hal tersebut kadang dilakukan orang lain (bukan keluarga) namun semua pengeluaran (biaya) dimintakan kepada ahli waris dan kadang-kadang dikerjakan oleh salah seorang ahli waris dan semua biaya dimintakan kepada ahli waris yang lain. Maka bagaimanakah hukumnya (menyediakan makanan tersebut)?
(Guru kita Ibnu Hajar al-Haitami) menjawab:
Bila menyediakan makanan untuk orang ta’ziah tersebut mendorong kepada maksiat seperti niyahah maka hukumnya haram secara mutlaq (baik yang melakukannya pewaris atau orang lain, menggunakan harta mahjur 'alaih ataupun tidak) dan jika menyediakan makanan tersebut tidak mendorong kepada maksiat dan dilakukan oleh orang lain tanpa ada izin dari pewaris hukumnya boleh dan tidak dapat dimemintakan biaya kepada ahli waris karena ia melakukan tabarru' (kebaikan). Demikian juga di bolehkan jika dilakukan oleh sebagian ahli waris tanpa ada izin dari ahli waris lainnya maka tidak dapat dimintakan ganti biayanya kepada ahli waris lainnya.
Dan haram bagi pewaris atau orang yang menerima wasiat melakukan hal tersebut (menyedakan makanan bagi orang yang berta'ziah) dari harta peninggalan bila ada sebagian ahli waris yang belum mukallaf atau mahjur ‘alaih (orang yang tidak dibolehkan mempergunakan harta) karena boros (safih).
Bila si mayat mewasiatkannya (penyediaan makanan untuk orang yang berta'ziah) maka jika atas jalan haram atau makruh maka masiatnya tidak berlaku. Dan bila tidak (bukan atas jalan haram atau makhruh) maka wasiat tersebut berlaku hanya dari 1/3 harta si mayat jika tidak di izinkan oleh ahli waris untuk lebih dari kadar 1/3 harta mayat, maka pada saat demikian boleh dikerjakan oleh orang yang di wasiatkan. Wallhu a`lam

Maka dari Jawaban Syaikhul Islam Ibnu Hajar al-Haitami dapat di simpulkan bahwa hukum menyediakan makanan pada hari kematian adalah;

1. Haram, apabila :

a. Pemberian makanan tersebut untuk mendorong orang-orang melakukan kemaksiatan seperti meratapi kematian. ( tetapi tidak pernah kita lihat di lapangan masyarakat yang menyediakan makanan dengan tujuan demikian)
b. Di ambil dari harta warisan sedangkan di antara ahli waris ada yang belum baligh atau mahjur `alaih (misalnya orang gila)

2. Boleh, apabila:

a. Menggunakan harta selain harta warisan
b. Menggunakan harta warisan atas dasar persetujuan semua ahli waris.
c. Di kerjakan oleh sebagian ahli waris dari hartanya sendiri atau harta warisan bagiannya.

3. Si mayat bila pernah mewasiatkan untuk menyediakan makanan pada hari kematiannya, maka wasiat tersebut hanya berlaku pada kasus boleh menghidangkan makanan sedangkan pada kasus haram atau makruh maka wasiat tersebut tidak berlaku.
Jawaban serupa juga pernah di jawab oleh ulama Makkah Syeikh Ismail Zain yang kami posting sebelumnya.
Wallahu A`lam bish Shawab

Monday 23 September 2013

MEMBACA SAYYIDINA KETIKA BERSHALAWAT ATAS NABI


Menambah lafazh "sayyid" sebelum menyebut nama Nabi adalah hal yang diperbolehkan karena kenyataannya beliau memang Sayyid al 'Alamin ; penghulu dan pimpinan seluruh makhluk. Jika Allah ta'ala dalam al Qur'an menyebut Nabi Yahya dengan :

) ... وسيدا وحصورا ونبيا من الصالـحين (   (سورة آل عمران : 39) 


Padahal Nabi Muhammad lebih mulia daripada Nabi Yahya. Ini berarti mengatakan sayyid untuk Nabi Muhammad juga boleh, bukankah Rasulullah sendiri pernah mengatakan tentang dirinya :

" أنا سيد ولد ءادم يوم القيامة ولا فخر "  رواه الترمذي
Maknanya : "Saya adalah penghulu manusia di hari kiamat"  (H.R. at-Turmudzi)


Jadi boleh mengatakan " اللهم صل على سيدنا محمد " meskipun tidak pernah ada pada lafazh-lafazh shalawat yang diajarkan oleh Nabi (ash-Shalawat al Ma'tsurah). Karena menyusun dzikir tertentu; yang tidak ma'tsur boleh selama tidak bertentangan dengan yang ma'tsur. Sayyidina umar dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim menambah lafazh talbiyah dari yang sudah diajarkan oleh Nabi, lafazh talbiyah yang diajarkan oleh Nabi adalah :


" لبيك اللهم لبيك، لبيك لا شريك لك لبيك، إن الحمد والنعمة لك والملك ، لا شريك لك "
Umar menambahkan :

"لبيك اللهم لبيك وسعديك ، والخير في يديك، والرغباء إليك والعمل"


Ibnu Umar juga menambah lafazh tasyahhud menjadi :

" أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له "

Ibnu Umar berkata : " وأنا زدتها "  ; "Saya yang menambah       وحده لا شريك له ". (H.R. Abu Dawud)

Karena itulah al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath al Bari, Juz. II, hlm. 287 ketika menjelaskan hadits Rifa'ah ibn Rafi', Rifa'ah mengatakan : Suatu hari kami sholat berjama'ah di belakang Nabi shallallahu 'alayhi wasallam, ketika beliau mengangkat kepalanya setelah ruku' beliau membaca : سمع الله لمن حمده , salah seorang makmum mengatakan:  " ربنا ولك الحمد حمدا كثيرا طيبا مباركا فيه " , maka ketika sudah selesai sholat Rasulullah bertanya : "Siapa tadi yang mengatakan kalimat-kalimat itu ?" , Orang yang mengatakan tersebut menjawab: Saya , lalu Rasulullah mengatakan :


" رأيت بضعة وثلاثين ملكا يبتدرونها أيهم يكتبها أول"  

Maknanya : "Aku melihat lebih dari tiga puluh malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya".


al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan : "Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan;

Ø      Bolehnya menyusun dzikir di dalam sholat yang tidak ma'tsur selama tidak menyalahi yang ma'tsur.

Ø      Boleh mengeraskan suara berdzikir selama tidak mengganggu orang di dekatnya.


Ø      Dan bahwa orang yang bersin ketika sholat boleh mengucapkan al Hamdulillah tanpa ada kemakruhan di situ". Demikian perkataan Ibnu Hajar.
Jadi boleh mengatakan " اللهم صل على سيدنا محمد "  dalam sholat sekalipun karena tambahan kata sayyidina ini tambahan yang sesuai dengan asal dan tidak bertentangan dengannya.[]

MEMBACA AL-QUR’AN UNTUK MAYYIT


  1. Membaca al Qur'an


Para ulama Ahlussunnah menyepakati bahwa doa dan istighfar seorang muslim yang masih hidup kepada Allah untuk orang yang telah mati itu bermanfaat. Demikian juga membaca al Qur'an di atas kubur juga bermanfaat terhadap mayyit. Dalil Kebolehan membaca al Qur'an di atas kubur adalah hadits bahwa Nabi membelah pelepah yang basah menjadi dua bagian kemudian Nabi menanamkan masing-masing di dua kuburan yang ada dan Rasulullah bersabda:


" لعله يخفف عنهما ما لم ييبسا"  رواه الشيخان

Maknanya: "Semoga keduanya mendapatkan keringanan siksa kubur selama pelepah ini belum kering". Dapat diambil dalil dari hadits ini bahwa boleh menancapkan pohon dan membaca al Qur'an di atas kubur, jika pohon saja bisa meringankan adzab kubur lebih–lebih bacaan al Qur'an orang mukmin. Imam Nawawi berkata: "Para ulama mengatakan sunnah hukumnya membaca al Qur'an di atas kubur berdasarkan pada hadits ini, karena jika bisa diharapkan keringanan siksa kubur dari tasbihnya pelepah kurma apalagi dari bacaan al Qur'an".  Jelas bacaan al Qur'an dari manusia itu lebih agung dan lebih bermanfaat daripada tasbihnya pohon. Jika telah terbukti al Qur'an bermanfaat bagi sebagian orang yang ditimpa bahaya dalam hidupnya, maka mayit begitu juga.

Di antara dalil bahwa mayyit mendapat manfaat dari bacaan al Qur'an orang lain adalah hadits Ma'qil ibn Yasar:

" اقرءوا يس على موتاكم " (رواه أبو داود والنسائي وابن ماجه وابن حبان وصححه).

Maknanya : " Bacalah surat Yaasin untuk mayit kalian " (H.R Abu Dawud, an– Nasai, Ibn Majah dan Ibn Hibban dan dishahihkannya).

Hadits ini memang dinyatakan lemah oleh sebagian ahli hadits, tetapi Ibn Hibban mengatakan hadits ini shahih dan Abu Dawud diam (tidak mengomentarinya) maka dia tergolong hadits Hasan (sesuai dengan istilah Abu Dawud dalam Sunan-nya), dan al Hafizh as-Suyuthi juga mengatakan bahwa hadits ini Hasan.

Dalil yang lain adalah hadits Nabi:
" يس قلب القرءان لا يقرؤها رجل يريد الله و الدار الآخرة إلا غفر له، واقرءوها على موتاكم " (رواه أحمد)

Maknanya : " Yasin adalah hatinya al Qur'an, tidaklah dibaca oleh seorangpun karena mengharap ridla Allah dan akhirat kecuali diampuni oleh Allah dosa– dosanya, dan bacalah Yasin ini  untuk mayit–mayit kalian "  (H.R. Ahmad)


Ahmad bin Muhammad al Marrudzi berkata : "Saya mendengar Ahmad ibn Hanbal -semoga Allah merahmatinya- berkata: "Apabila kalian memasuki areal pekuburan maka bacalah surat al Fatihah dan Mu'awwidzatayn dan surat al Ikhlas dan hadiahkanlah pahalanya untuk ahli kubur karena sesungguhnya pahala bacaan itu akan sampai kepada mereka".

Al Khallal juga meriwayatkan dalam al Jami' dari asy-Sya'bi bahwa ia berkata:

"كانت الأنصار إذا مات لهم ميت اختلفوا إلى قبره يقرءون له القرءان"

 "Tradisi para sahabat Anshar jika meninggal salah seorang di antara mereka, maka mereka akan datang ke kuburnya silih berganti dan membacakan al Qur'an untuknya (mayit)".


Demikian juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam al Bukhari bahwasanya 'Aisyah -semoga Allah meridlainya- berkata : Alangkah sakitnya kepalaku lalu Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda :
" ذاك لو كان وأنا حي فأ ستغفر لك وأدعو لك "


Maknanya : "Jika itu terjadi (engkau sakit dan meninggal) dan aku masih hidup maka aku mohon ampun dan berdoa untukmu".

Perkataan Rasulullah " وأدعو لك "  (maka saya akan berdoa untukmu) ini, mencakup doa dengan segala bentuk dan macam–macamnya, maka termasuk  doa seseorang setelah membaca beberapa ayat dari al Qur'an dengan tujuan supaya pahalanya disampaikan kepada mayit seperti dengan mengatakan :

اللهم أوصل ثواب ما قرأت إلى فلان

"Ya Allah sampaikanlah pahala bacaanku ini kepada si Fulan".

Demikian juga hadits yang diriwayatkan oleh Ubayy ibn Ka'b bahwa dia berkata: "Wahai Rasulullah sesungguhnya aku banyak bershalawat kepadamu maka berapa banyak sebaiknya aku bershalawat kepadamu ? Rasulullah menjawab : "terserah kamu"  (H.R. Imam at–Turmudzi)

Sedangkan yang sering dikatakan orang bahwa Imam Syafi'i menyatakan bacaan al Qur'an tidak akan sampai kepada mayyit, maksud asy-Syafi'i adalah jika bacaan tersebut tidak dibarengi dengan doa Ii-shal - إيصال - (doa agar disampaikan pahala bacaan tersebut kepada mayit) atau bacaan tersebut tidak dilakukan di kuburan mayit karena asy-Syafi'i menyetujui kedua hal ini (membaca al Qur'an dengan diakhiri doa Ii-shal - إيصال -  dan membaca al Qur'an di atas kuburan mayit). Imam an-Nawawi mengatakan: "Asy-Syafi'i dan tokoh-tokoh madzhab Syafi'i mengatakan: Disunnahkan dibaca di kuburan mayit ayat-ayat al Qur'an, dan jika dibacakan al Qur'an hingga khatam itu sangat baik".

Sebagian ahli bid'ah mengatakan tidak akan sampai pahala sesuatu apapun kepada si mayit dari orang lain yang masih hidup, baik doa ataupun yang lain.  Perkataan mereka ini bertentangan dengan al Qur'an dan Sunnah. Bahwa mereka berdalil dengan firman Allah ta'ala:

) وأن ليس للإنسان إلا ما سعى (  (سورة النجم : 39 )

Ini adalah hal yang tidak tepat dan mesti ditolak karena maksud ayat ini bukanlah menafikan bahwa seseorang mendapatkan manfaat dari apa yang dikerjakan oleh orang lain seperti sedekah dan haji untuk orang yang telah meninggal, melainkan ayat ini menafikan kepemilikan terhadap amal orang lain. Amal orang lain adalah milik orang lain yang mengerjakankannya, karena itu jika ia mau ia bisa memberikan kepada orang lain dan jika tidak ia bisa memilikinya untuk dirinya sendiri. Allah subhanahu wata'ala tidak mengatakan tidak bermanfaat bagi seseorang kecuali amalnya sendiri.

Mereka yang menafikan secara mutlak tersebut adalah golongan Mu'tazilah. Imam Ahmad ibn Hanbal pernah mengingkari orang yang membaca al Qur'an di atas kuburan, namun kemudian sahabat (salah seorang murid dekat)nya menyampaikan kepadanya atsar dari sebagian sahabat yaitu Ibn Umar lalu dia ruju' dari pendapatnya tersebut. Al Bayhaqi dalam as-Sunan al Kubra meriwayatkan dengan sanad yang sahih bahwa Ibn Umar menganggap sunnah setelah mayit dikuburkan untuk dibacakan awal dan akhir surat al Baqarah. Salah seorang ulama Madzhab Hanbali, Asy-Syaththi al Hanbali dalam komentarnya atas kitab Ghayah al Muntaha, hlm. 260 mengatakan : "Dalam al Furu' dan Tashhih al Furu'  dinyatakan : Tidak dimakruhkan membaca al Qur'an di atas kuburan dan di areal pekuburan, inilah yang ditegaskan oleh al Imam Ahmad, dan inilah pendapat madzhab Hanbali. Kemudian sebagian menyatakan hal itu mubah, sebagian mengatakan mustahabb (sunnah). Demikian juga disebutkan dalam al Iqna'".  


  1. Menghidangkan Makanan untuk orang yang datang ta'ziyah atau menghadiri undangan baca al Qur'an

Menghidangkan makanan yang dilakukan oleh keluarga mayit untuk orang yang datang ta'ziyah atau menghadiri undangan baca al Qur'an adalah boleh karena itu termasuk ikram adl-Dlayf  (menghormat tamu). Dan dalam Islam ini adalah sesuatu yang dianjurkan. Sedangkan Hadits Jarir ibn 'Abdillah al Bajali bahwa ia mengatakan :

" كنّا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنيعة الطعام بعد دفنه من النياحة"
(رواه أحمد بسند صحيح)

Maknanya : "Kami di masa Rasulullah menganggap berkumpul di tempat mayit dan membuat makanan setelah dikuburkannya mayit sebagai Niyahah (meratapi mayit yang dilarang oleh Islam)"  (H.R. Ahmad dengan sanad yang sahih)

Maksudnya adalah jika keluarga mayit membuat makanan tersebut untuk dihidangkan  kepada para hadirin dengan tujuan al Fakhr ; berbangga diri supaya orang mengatakan bahwa mereka pemurah dan dermawan  atau makanan tersebut disajikan kepada perempuan-perempuan agar menjerit-jerit, meratap sambil menyebutkan kebaikan-kebaikan mayit, karena inilah yang biasa dilakukan oleh orang-orang di masa jahiliyah, mereka yang tidak beriman kepada akhirat itu. Dan inilah Niyahah yang termasuk perbuatan orang-orang di masa jahiliyyah dan dilarang oleh Nabi shallallahu 'alayhi wasallam .

Jika tujuannya bukan untuk itu, melainkan untuk menghormat tamu atau bersedekah untuk mayit dan meminta tolong agar dibacakan al Qur'an untuk mayit maka hal itu boleh dan tidak terlarang. Al Bukhari meriwayatkan dalam Sahih-nya dari Ibn 'Abbas bahwa Sa'd ibn 'Ubadah ibunya meninggal ketika dia pergi, kemudian ia berkata kepada Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam : Wahai Rasulullah, Ibuku meninggal dan aku sedang tidak berada di tempat tersebut, apakah bermanfa'at baginya jika aku menyedekahkan sesuatu untuknya ?, Rasulullah menjawab : "Ya", Sa'd berkata : (Kalau begitu) Saya bersaksi kepadamu bahwa kebunku yang sedang berbuah itu aku sedekahkan untuknya.
 

  1. Tahlilan pada hari ke tiga, ke tujuh, ke seratus, ke seribu dan seterusnya

Tradisi ummat Islam mengundang para tetangga ke rumah mayit kemudian memberi makan mereka ini adalah sedekah yang mereka lakukan untuk si mayit dan dalam rangka membaca al Qur'an untuk mayit, dan jelas dua hal ini adalah hal yang boleh dilakukan. Sedekah untuk mayit jelas dibenarkan oleh hadits Nabi dalam Sahih al Bukhari. Sedangkan membaca al Qur'an untuk mayit, menurut mayoritas para ulama salaf dan Imam madzhab Hanafi, Maliki dan Hanbali pahalanya akan sampai kepada mayit, demikian dijelaskan oleh as-Suyuthi dalam Syarh ash-Shudur dan dikutip serta disetujui oleh al Hafizh Murtadla az-Zabidi dalam Syarh Ihya' 'Ulum ad-Din. Syekh Abdullah al Harari mengatakan : "Sedangkan yang sering dikatakan orang bahwa Imam asy-Syafi'i menyatakan bacaan al Qur'an tidak akan sampai kepada mayyit maksud asy-Syafi'i adalah jika bacaan tersebut tidak dibarengi dengan doa Ii-shal (doa agar disampaikan pahala bacaan kepada mayyit) atau bacaan tersebut tidak dilakukan di kuburan mayyit karena asy-Syafi'i menyetujui kedua hal ini (membaca al Qur'an dengan diakhiri doa Ii-shal  dan membaca al Qur'an di atas kuburan mayyit)".  (lihat Syarh Raudl ath-Thalib, Nihayatul Muhtaj, Qadla' al Arab fi As-ilah Halab dan kitab-kitab Fiqh Syaf'i yang lain).

Bahwa berkumpul untuk mendoakan mayit dan membaca al Qur'an untuknya pada hari ke tiga, ke tujuh, ke seratus, ke seribu dan seterusnya maka hukumnya adalah sebagai berikut :

§         Berkumpul di hari ke tiga tujuannya adalah berta'ziyah.
§         Berkumpul setelah hari ke tiga tujuannya adalah berta'ziyah bagi yang belum. Bagi yang sudah berta'ziyah, berkumpul saja pada hari-hari tersebut bukanlah hal yang mutlak sunnah, tetapi kalau tujuan berkumpul tersebut adalah untuk membaca al Qur'an dan ini semua mengajak kepada kebaikan. Allah ta'ala berfirman :

) وافعلوا الخيـر لعلكم تفلحون (   (سورة الحج : 77)

Maknanya : "Lakukanlah hal yang baik agar kalian beruntung"  (Q.S. al Hajj : 77).[]

MASALAH-MASALAH SEPUTAR SHALAT DAN DZIKIR


a.     Qunut Subuh

Dalam madzhab Syafi'i disunnahkan membaca doa Qunut pada sholat Subuh, baik terjadi musibah ataupun tidak. Pendapat ini juga pendapat kebanyakan ulama salaf dan para ulama sesudah mereka, atau banyak ulama dari kalangan mereka seperti Abu Bakr ash-shiddiq, Umar, Utsman, Ali, Ibn 'Abbas, al Bara' ibn 'Azib dan lain-lain.

Sahabat Anas ibn Malik mengatakan :

" أن النبي صلى الله عليه وسلم قنت شهرا  يدعو عليهم ثم ترك، فأما في الصبح فلم يزل يقنت حتى فارق الدنيا "  قال الحافظ النووي : حديث صحيح رواه جماعة من الحفاظ وصححوه، وممن نص على صحته الحافظ أبو عبد الله محمد بن علي البلخي والحاكم والبيهقي والدارقطني 

Maknanya : "Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam membaca Qunut, mendoakan mereka agar celaka (dua kabilah; Ri'l dan Dzakwan) kemudian meninggalkannya, sedangkan pada sholat Subuh ia tetap membaca doa qunut hingga meninggalkan dunia ini"  (Hadits sahih riwayat banyak ahli hadits dan disahihkan oleh banyak ahli hadits seperti al Hafizh al Balkhi, al Hakim, al Bayhaqi dan ad-Daraquthni dan lain-lain)


Kalau ada orang mengatakan Qunut Subuh sebagai bid'ah berarti mengatakan para sahabat dan para ulama mujtahid yang telah disebutkan sebagai ahli bid'ah, na'udzu billah min dzalik.


b.     Dzikir dengan suara yang keras

Abdullah ibn 'Abbas berkata :

" كنت أعرف انقضاء صلاة رسول الله بالتكبير" رواه البخاري ومسلم

Maknanya : "Aku mengetahui selesainya sholat Rasulullah dengan takbir (yang dibaca dengan suara keras)" (H.R. al Bukhari dan Muslim)

" كنا نعرف انقضاء صلاة رسول الله بالتكبير"  رواه مسلم

Maknanya : "Kami mengetahui selesainya sholat Rasulullah dengan takbir (yang dibaca dengan suara keras)" (H.R. al Bukhari dan Muslim)

" أن رفع الصوت بالذكر حين ينصرف الناس من المكتوبة كان على عهد رسول الله" رواه البخاري ومسلم

Maknanya : "Mengeraskan suara dalam berdzikir ketika jama'ah selesai sholat fardlu terjadi pada zaman Rasulullah" (H.R. al Bukhari dan Muslim)

" كنت أعلم إذا انصرفوا بذلك إذا سمعته" 

Maknanya : "Aku mengetahui bahwa mereka telah selesai sholat dengan mendengar suara berdzikir yang keras itu"

Hadits-hadits ini adalah dalil diperbolehkannya berdzikir dengan suara yang keras, tetapi tanpa berlebih-lebihan dalam mengeraskannya. Karena mengangkat suara dengan keras yang berlebih-lebihan dilarang oleh Nabi shallallahu 'alayhi wasallam dalam hadits yang lain. Dalam hadits riwayat al Bukhari dari Abu Musa al Asy'ari bahwa ketika para sahabat sampai dari perjalanan mereka di lembah Khaibar, mereka membaca tahlil dan takbir dengan suara yang sangat keras. Lalu Rasulullah berkata kepada mereka :

" اربعوا على أنفسكم فإنكم لا تدعون أصمّ ولا غائبا ، إنما تدعون سميعا قريبا ..."

Maknanya : "Ringankanlah atas diri kalian (jangan memaksakan diri mengeraskan suara), sesungguhnya kalian tidak meminta kepada Dzat yang tidak mendengar dan tidak kepada yang ghaib, kalian meminta kepada yang maha mendengar dan maha "dekat" …"  (H.R. al Bukhari)


Hadits ini tidak melarang berdzikir dengan suara yang keras, yang dilarang adalah dengan suara yang sangat keras dan berlebih-lebihan. Hadits ini juga menunjukkan bahwa boleh berdzikir dengan berjama'ah sebagaimana dilakukan oleh para sahabat tersebut, karena bukan ini yang dilarang oleh Nabi melainkan mengeraskan suara secara berlebih-lebihan.


c.     Doa dengan berjama'ah

Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda :

" ما اجتمع قوم فدعا بعض وأمّن الآخرون إلا استجيب لهم " (رواه الحاكم في المستدرك من حديث مسلمة بن حبيب الفهري)
Maknanya : "Tidaklah suatu jama'ah berkumpul, lalu sebagian berdoa dan yang lain mengamini kecuali doa tersebut akan dikabulkan oleh Allah" (H.R. al Hakim dalam al Mustadrak dari sahabat Maslamah ibn Habib al Fihri)

Hadits ini menunjukkan kebolehan berdoa dengan berjama'ah, salah satu berdoa dan yang lain mengamini, termasuk dalam hal ini yang sering dilakukan oleh jama'ah setelah sholat lima waktu, imam sholat berdoa dan jama'ah mengamini.[]