Best Patner

Sunday 16 December 2012

Ulil Amr di mata Sunnah-Syiah

TEMPO.CO, Jakarta - Menelisik perbedaan Sunnah dan Syiah memang tak ada habisnya. Tapi kajian dari Mantan Menteri Agama Muhammad Quraish Shihab dalam bukunya Sunnah-Syiah, Bergandengan Tangan, Mungkinkah? sangat menarik untuk dikupas. Ada banyak perbedaan di dua golongan umat ini, tapi bukan berarti tak ada persamaan di antara mereka.

Dua golongan umat ini meyakini ada satu imam besar yang akan menyatukan yaitu Imam Mahdi. Shihab, cendekiawan muslim ini, menyatakan konsep Imam Mahdi ada di dua golongan itu, tapi siapa dan kapan Sang Imam muncul, semuanya masih gaib. Artinya sebelum sang Imam keluar, maka harus ada Ulil Amr yang memimpin umat di dunia.

"Tapi timbul pertanyaan, siapakah yang dimaksud Ulil Amr dewasa ini?" tanya Shihab dalam bukunya.

Sosok seorang Imam Mahdi atau imam kedua belas memang masih gaib. Di Iran, negara dengan mayoritas Syiah, pemimpin tertingginya Imam Khomeini pernah berujar bahwa seorang kepala pemerintahan yang direstui agama tetap harus dipertahankan. Karena keberadaan sang Imam Mahdi masih belum jelas.

Bagi kaum Ahlussunah, mengacu pendapat petinggi Al-Azhar, Ulil Amr adalah pimpinan yang dipilih umat. Pimpinan tersebut bisa ditetapkan, dipecat, dan diawasi. Seorang kepala negara hanyalah sekedar mewakili umat, maka dia harus tunduk pada kekuasaan yang dia wakili.

Tapi ketika sang Ulil Amr berbuat zalim, terjadi perbedaan pendapat di kalangan Ahlussunah. Umat yang menganut mazhab Syafi'i dan Ghazali sepakat kalau pemimpin yang tak amanah patut dicopot. Sementara itu, ada pula yang berpendapat bahwa menaati kepala pemerintah yang otoriter "lebih baik" daripada menggulingkan mereka dengan menimbulkan suasana kekacauan.

Pemberontakan menjadi wajar bagi kaum Ahlussunah. Tapi bagi golongan Syiah, sebelum mandat Khomeini, sikap melawan pemimpin itu haram. Karena mereka percaya akan datangnya imam kedua belas. Sebelum sang Imam datang, maka urusan pemerintah diserahkan kepada yang berwenang dalam batas tertentu dan tidak diperkenankan mengangkat senjata terhadap pemerintah otoriter.

Tapi Khomeini, kata Shihab, memiliki pandangan yang berbeda terhadap pembangkangan pemerintah yang bersikap aniaya. Ia membakar semangat masyarakat Syiah untuk revolusi terhadap imperialisme barat. Khomeini berujar, "Orang-orang yang malaslah yang mengabaikan semua riwayat itu (memerangi orang yang bersikap aniaya) dan berpegang pada dua riwayat yang lemah yang memuji para raja (penguasa aniaya) dan membenarkan kerjasama dengan mereka"

Dasar pandangan Khomeini terhadap pemimpin aniaya dan sikap Ahlussunah dapat bertemu. "Bukankah Khomeini kini telah membolehkan berjuang menghadapi penguasa yang aniaya sebagaimana pendapat dasar ulama Ahlussunah?" tanya Shihab

DIANING SARI

No comments:

Post a Comment