TEMPO.CO, Jakarta
- Menelisik perbedaan Sunnah dan Syiah memang tak ada habisnya. Tapi
kajian dari Mantan Menteri Agama Muhammad Quraish Shihab dalam bukunya Sunnah-Syiah, Bergandengan Tangan, Mungkinkah?
sangat menarik untuk dikupas. Ada banyak perbedaan di dua golongan umat
ini, tapi bukan berarti tak ada persamaan di antara mereka.
Dua golongan umat ini meyakini ada satu imam besar yang akan menyatukan
yaitu Imam Mahdi. Shihab, cendekiawan muslim ini, menyatakan konsep Imam
Mahdi ada di dua golongan itu, tapi siapa dan kapan Sang Imam muncul,
semuanya masih gaib. Artinya sebelum sang Imam keluar, maka harus ada
Ulil Amr yang memimpin umat di dunia.
"Tapi timbul pertanyaan, siapakah yang dimaksud Ulil Amr dewasa ini?" tanya Shihab dalam bukunya.
Sosok
seorang Imam Mahdi atau imam kedua belas memang masih gaib. Di Iran,
negara dengan mayoritas Syiah, pemimpin tertingginya Imam Khomeini
pernah berujar bahwa seorang kepala pemerintahan yang direstui agama
tetap harus dipertahankan. Karena keberadaan sang Imam Mahdi masih belum
jelas.
Bagi kaum Ahlussunah, mengacu pendapat petinggi
Al-Azhar, Ulil Amr adalah pimpinan yang dipilih umat. Pimpinan tersebut
bisa ditetapkan, dipecat, dan diawasi. Seorang kepala negara hanyalah
sekedar mewakili umat, maka dia harus tunduk pada kekuasaan yang dia
wakili.
Tapi ketika sang Ulil Amr berbuat zalim, terjadi
perbedaan pendapat di kalangan Ahlussunah. Umat yang menganut mazhab
Syafi'i dan Ghazali sepakat kalau pemimpin yang tak amanah patut
dicopot. Sementara itu, ada pula yang berpendapat bahwa menaati kepala
pemerintah yang otoriter "lebih baik" daripada menggulingkan mereka
dengan menimbulkan suasana kekacauan.
Pemberontakan menjadi
wajar bagi kaum Ahlussunah. Tapi bagi golongan Syiah, sebelum mandat
Khomeini, sikap melawan pemimpin itu haram. Karena mereka percaya akan
datangnya imam kedua belas. Sebelum sang Imam datang, maka urusan
pemerintah diserahkan kepada yang berwenang dalam batas tertentu dan
tidak diperkenankan mengangkat senjata terhadap pemerintah otoriter.
Tapi Khomeini, kata Shihab, memiliki pandangan yang berbeda terhadap
pembangkangan pemerintah yang bersikap aniaya. Ia membakar semangat
masyarakat Syiah untuk revolusi terhadap imperialisme barat. Khomeini
berujar, "Orang-orang yang malaslah yang mengabaikan semua riwayat itu
(memerangi orang yang bersikap aniaya) dan berpegang pada dua riwayat
yang lemah yang memuji para raja (penguasa aniaya) dan membenarkan
kerjasama dengan mereka"
Dasar pandangan Khomeini terhadap
pemimpin aniaya dan sikap Ahlussunah dapat bertemu. "Bukankah Khomeini
kini telah membolehkan berjuang menghadapi penguasa yang aniaya
sebagaimana pendapat dasar ulama Ahlussunah?" tanya Shihab
DIANING SARI
No comments:
Post a Comment