Best Patner

Tuesday 4 November 2014

Kemanakah Kiblat Kita Sekarang?



Umat Islam didunia sekarang sedang merayakan idul adhha atau hari raya qurban, dimana dalam setiap setahun sekali raya raya itu datang, baik hari raya idul fitri atau hari raya idul adhha yang sedang kita jalani.

Walaupun terjadi perbedaan hari dalam merayakan hari raya idul adhha kali ini, namun ini bukanlah suatu hal yang fatal yang perlu diperdebatkan, karena masing-masing orang yang akan berhari raya itu berdasarkan pegangan dan pengetahuannya, dan ini telah dijelaskan oleh para ulama dan orang-orang yang faham tentang Islam.

Namun yang menjadi persoalan sekarang bukanlah kapan dan kenapa tidak serentak berhari raya, tetapi apakah kita semua telah memaknai hari raya itu sesuatu tuntunan dan syariat yang kita pegangi berdasarkan kiblat fiqiyah?.

Hakikat berhari raya

Dalam berhari raya ini, umat Islam mempunyai bimbingan dan tuntunan, yaitu sesuai dengan syariat yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Namun menurut penjelasan Anas bin Malik, orang yang beriman itu bukan saja memiliki dua hari raya, namun mereka mempunyai lima hari raya.

Pertama, setiap hari yang dilaluinya, tanpa dicatat darinya satu dosapun, maka itu adalah hari raya. Kedua, pada hari yang dia keluar dari dunia ini (mati) dengan membawa bekalan iman, syahadah (dapat mengucap Lailahaillallah) dan terpelihara dari tipu daya syaitan (husnul khatimah), maka itu adalah hari raya. Ketiga, hari dia menyeberang Siratal Mustaqim dan dia selamat dari segala risiko hari qiamat, dan selamat dari pula dari Malaikat Zabaniah, maka itu adalah hari raya. Keempat, hari dia masuk ke Syurga dan selamat dari neraka Jahim, maka itu adalah hari raya. Dan kelima, hari dia dapat melihat wajah Tuhannya, maka itu adalah hari raya. (dipetik dari Abu Laits As-Samarkandi).

Hari raya merupakan syiar Islam yang mulia yang memiliki nilai ibadah yang agung. Pada hari itu kaum muslimin berkumpul, bersuka cita, mengumandangkan takbir dengan kalimat keagungan Allah. Oleh karena hari raya adalah bagian dari syiar Islam yang agung ini, maka selayaknya bagi kaum muslimin pun menjalaninya dengan aturan Allah dan etika yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga amal yang telah kita lakukan selama satu bulan penuh itu tidak hilang sia-sia. Namun pada hakikatnya umat Islam dalam berhari raya itu harus mempunyai bekal ilmu yang cukup, bersilaturrahmi, dan hindari kemaksiatan.

Dan juga dalam merayakan hari raya idul adhha itu dengan melaksanakan qurban, karena qurban itu adalah sebagai bukti keikhklasan seseorang dalam bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT, karena qurban juga sunnah yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah SAW.

Fenomena perayaan hari raya

Melihat fenomena perayaan hari raya yang dirayakan oleh umat Islam sekarang, khususnya di Aceh sungguh sebagian mereka telah melupakan hakikat dan hikmah dari hari raya itu sendiri, budaya berhari raya telah keluar dari kiblat yang sebenarnya, bahkan kadang kita telah berkiblat kehari raya yang tidak sesuai dengan budaya Islam itu sendiri.

Budaya maksiat dan menghambur-hamburkan uang lebih dominan dalam merayakan hari raya, petasan yang bermacam modelpun telah menghiasi hari raya umat Islam, yang lebih parah penjual, pembeli dan yang membakar petasan itu sendiri adalah umat Islam yang sedang merayakan hari raya, seolah-olah petasan itu menjadi legalitas hari raya yang dilegalkan.

Ketika itu seolah pemerintah diam dan pura-pura tidak tau bahkan tidak faham, petasan yang beraneka ragam pun diperjual belikan didepan umum yang setiap kali dilalu lalangi oleh masyarakat umum.

Budaya pacaran dan berwisata riya juga menghiasi perayaan lebaran, seolah seorang ayah telah menyerahkan anaknya kepada silelaki yang bertudung suci padahal ia laksana buaya yang sedang mengintai mangsa. Tak terasa semua yang menjadi tabu dalam Islam kini menjadi pemandangan yang biasa saja dan dipraktekkan dimana saja, tanpa terhalang waktu dan tempat.

Padahal dalam Islam semuanya telah diatur, jangankan membawa sang wanita yang belum dinikahinya laksana barang yang telah usang, menyentuh tangannya saja tidak diperbolehkan, namun fenomena yang ada di setiap daerah, jarang ada yang selamat darinya kecuali orang yang dirahmati oleh Allah. Sebagian dari mereka tidak tahu, sebagian yang lainnya mengetahuinya akan tetapi karena hawa nafsu lebih kuat dari ilmu yang dimilikinya sehingga ia pun terjerumus ke dalamnya. Padahal Rasulullah telah bersabda jangan berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram.

“Seandainya kepala seseorang ditusuk dengan jarum besi, itu masih lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya”, (Hadits Hasan riwayat Thabrani).

Fenomena lain yang banyak kita saksikan di saat hari raya adalah gaya hidup yang sama antara muslim dengan non muslim baik itu dalam hal berbusana. Hal ini sangatlah nampak ketika hari raya, terutama kaum muda-mudi. Berpakaian seolah-olah telanjang, dalam bahasa lain adalah “you can see”, atau berpakaian sangat ketat sehingga terlihat lekak-lekuk tubuhnya. Begitu pula para wanita berdandan dan menampakkan kecantikan di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya. Adat seperti inilah yang biasa dilakukan oleh orang kafir, akan tetapi sangat disayangkan sebagian kaum muslimin meniru gaya mereka.

“Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka”, (HR. Ahmad).

“Ada dua golongan manusia penduduk neraka yang aku belum pernah melihatnya, yaitu: kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk mencambuk manusia, dan wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala-kepala mereka bagaikan punuk-punuk unta. Mereka tidak akan masuk surga bahkan tidak akan mendapatkan baunya. Padahal bau surga tercium dari perjalanan sekian dan sekian”, (HR. Muslim).

Dan pemborosan yang luar biasa juga terjadi pada saat hari raya, baik dalam menyambut hari raya atau saat merayakan hari raya, seolah-olah semua legal untuk kita belikan, walaupun itu merupakan barang yang kadang tidak kita butuhkan.

“Dan janganlah kalian berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan”, (QS. Al-An’am: 141).

“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang berbuat boros itu adalah saudaranya setan”, (QS. Al-Isro’: 26-27).

Maka fenomena inilah yang menjadi pertanyaan besar bagi kita sendiri, dan membuat komperasi dengan hakikat berhari raya. Sudahkah kita berhari raya sesuai sunnah Rasulullah SAW?. Bila ini masih jauh dari harapan Islam itu sendiri, maka mari kita menginstropeksikan diri dan kita kembali berkiblat dengan hari raya sesuai syariat.

Oleh: Joel Buloh

No comments:

Post a Comment